Bisnis.com, JAKARTA - Menjaga nilai tukar rupiah tidak gonjang-ganjing memerlukan berbagai inovasi, terutama di tengah berbagai ketidakpastian yang tinggi dan gejolak tiada henti di pasar keuangan global.
Inovasi yang tidak hanya menyasar sisi kebijakan dan operasional, tetapi juga instrumen. Bank Indonesia yang diamanahi UU No. 4/2023 untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah melakoni dengan berinovasi pada sisi kebijakan dan instrumen.
Pada inovasi kebijakan, Bank Indonesia mengambil strategi dengan lebih meli-batkan pasar (pro market) dengan mengoptimalkan peran primary dealers di ope-rasi moneter Bank Indonesia dan pasar uang. Sementara pada sisi instrumen, Bank Indonesia meluncurkan tiga instrumen baru pada triwulan akhir 2023.
Ketiga instrumen tersebut ada-lah Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI). Kedua bentuk inovasi ter-sebut sejalan dengan upaya otoritas moneter untuk lebih independen terhadap dampak kebijakan moneter negara maju, terutama Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed). Sebagaimana diketahui, setiap kali The Fed mengutak-atik suku bunga kebijakannya, nilai tukar rupiah pasti ter-dampak. Saat The Fed mena-ikkan suku bunga acuannya, nilai tukar rupiah merosot.
Untuk merespons kebijakan The Fed itu, Bank Indonesia memiliki opsi menaikkan suku bunga acuan atau mem-biarkan nilai tukar melemah. Kedua opsi tersebut tentu tidak ideal, karena akan menyulit-kan dalam mencapai sasaran inflasi dan dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi nasi-onal.
Selain itu, volatilitas nilai tukar rupiah cenderung ber-lebihan tatkala pasar berada dalam tekanan, terutama dari dampak rambatan global. Hal ini dapat mengganggu stabilitas moneter, pasar keu-angan, dan sistem keuangan. Kondisi tersebut sejatinya juga tidak lepas dari masih relatif terbatasnya instru-men dan volume transaksi di pasar valas domestik.
Baca Juga
Ini membuat nilai tukar rupiah sensitif terhadap pergerakan aliran portofolio asing serta sentimen negatif yang terja-di di pasar global. Adanya instrumen SRBI, SVBI dan SUVBI dapat menjawab per-masalahan itu.Ketiga instrumen yang merupakan alat operasi moneter kontraksi pro mar-ket memiliki durasi pendek hingga 12 bulan.
Tujuannya untuk mengelola likuiditas sekaligus dapat mengem-bangkan pasar uang dan sta-bilitas nilai tukar rupiah. Hal ini karena instrumen tersebut dapat diperdagangkan dan dimiliki nonbank baik itu eksportir maupun investor asing di pasar sekunder.Berbeda dengan instrumen operasi moneter yang exis-ting yang sifatnya penem-patan seperti sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito Bank Indonesia dan surat ber-harga Bank Indonesia Valas, penerbitan instrumen baru tersebut mengoptimalkan surat berharga baik surat ber-harga pemerintah Indonesia maupun negara lain yang dimiliki Bank Indonesia seba-gai aset dasar.
Keberadaan SRBI, SVBI dan SUVBI juga tidak akan mematikan dan menyaingi instrumen yang lain. Hal ini karena karakteristik dan jangka waktu penempatan-nya telah diatur sedemiki-an rupa. Pasar uang akan banyak memiliki variasi instrumen yang menja-di pilihan investor sesuai dengan kepentingan inves-tor masing-masing.
Dengan demikian, upaya menjaga stabilitas rupiah tidak meng-gantungkan pada instru-men suku bunga acuan Bank Indonesia yaitu Bank Indonesia 7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR), mela-inkan dapat juga dengan instrumen operasi moneter.Upaya menarik investor asing memang menjadi sasaran ketiga instrumen tersebut dengan memberikan imbal hasil menarik.
Dengan begitu, suplai valuta asing diharapkan kian membanjiri pasar valas Indonesia sehing-ga menebalkan cadangan devisa yang dipelihara Bank Indonesia.
Cadangan devisa yang tebal menjadi bantalan yang kuat dan berguna bila terjadi gejolak dan menopang negara dalam melakukan impor barang dan jasa. Pada ujungnya stabilitas nilai tukar rupiah terus terjaga sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.Respons perbankan nasional dan investor asing cukup posi-tif atas inovasi Bank Indonesia tersebut.
Mengutip laporan Bank Indonesia yang disam-paikan pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) 17—18 Januari 2024, lelang SRBI dan SVBI hingga 16 Januari 2024 masing-masing telah men-capai Rp296,03 triliun dan US$896,50 juta. Kemudian, lelang SUVBI yang diterbitkan telah mencapai US$244 juta. Instrumen SRBI juga telah secara aktif diperdagangkan di pasar sekunder.
Ini terlihat dari kepemilikan nonresiden yang mencapai Rp75,44 triliun. Dampak terhadap stabilitas nilai tukar rupiah juga relatif terjaga sejalan dengan berba-gai kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia. Nilai tukar rupiah masih rela-tif stabil hingga 16 Januari 2024, meski merosot 1,24 % dari akhir Desember 2023.
Perkembangan nilai tukar rupiah tersebut relatif lebih baik ketimbang mata uang di beberapa negara regional, seperti ringgit Malaysia, baht Thailand, dan won Korea Selatan. Mata uang ketiga negara tetangga itu merosot lebih dalam masing-masing 1,95%; 2,82%; dan 3,24%.