Bisnis.com, JAKARTA – Investor pasar modal diperkirakan akan menghadapi risiko volatilitas yang lebih tinggi pada awal 2024. Pembalikan kebijakan moneter oleh para bank sentral terutama Federal Reserve diprediksi akan terjadi. Hal ini akan menuntut investor untuk pandai-pandai menghitung risiko dan potensi gain dari portofolio investasi mereka.
Federal Reserve atau The Fed pada Rabu (3/1/2024) waktu setempat merilis risalah pertemuan (FOMC) terakhir yang berisi perdebatan mengenai arah perubahan kebijakan moneter.
Risalah tersebut memang tidak memberikan petunjuk langsung mengenai kapan penurunan suku bunga akan dimulai, namun risalah FOMC mencerminkan adanya sinyal bahwa inflasi AS terkendali dan meningkatnya kekhawatiran mengenai risiko kebijakan moneter yang terlalu ketat terhadap perekonomian AS.
Ekonom Mirae Asset Sekuritas Rully Arya Wisnubroto mengatakan investasi high risk akan lebih menarik dibandingkan dengan yang low risk lantaran ekspektasi suku bunga yang akan turun, baik di AS maupun di Indonesia.
“Namun demikian masih perlu diwaspadai juga, dengan kemungkinan masih tingginya volatilitas,” katanya menjawab pertanyaan Bisnis, Rabu (3/1/2024).
Rully mengatakan untuk instrumen saham, salah satu risiko yang penting untuk dicermati adalah kemungkinan terjadinya perlambatan ekonomi global, yang akan berdampak kepada kinerja perusahaan tercatat.
Baca Juga
Saham-saham blue chip menjadi pilihan investasi yang menurut Rully memiliki prospek kinerja jangka panjang 3 sampai 5 tahun mendatang. Selain saham blue chip, saham dengan orientasi bisnis lapangan usaha akan mendulang dampak positif dari penurunan suku bunga.
Hal itu juga berkaitan dengan aksi korporasi yang dilakukan emiten. Menurut Rully, investor perlu mencermati prospek perusahaan, dan memperhatikan bagaimana strategi ekspansi perusahaan yang bersangkutan, yang akan dilakukan menggunakan dana dari hasil aksi korporasi tersebut.
“Sementara itu untuk saham sendiri akan menyusul, dan biasanya memang kinerja pasar saham, yang lebih dipengaruhi oleh fundamental perusahaan akan dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi,” lanjutnya.
Dari sentiment domestik, Bank Indonesia (BI) juga berpeluang memangkas suku bunga acuan atau BI Rate mulai kuartal II/2024, hal ini dilandasi faktor pergerakan nilai tukar rupiah dan inflasi yang terus terjaga.
Reksa Dana
Investor reksa dana disarankan memanfaatkan momentum dari laju positif pasar saham dan obligasi yang menjadi aset dasar (underlying) reksa dana, sehingga dapat meraup cuan pada awal 2024.
Berdasarkan data Infovesta periode 22-29 Desember 2023, seluruh kinerja reksa dana berhasil mencatatkan kinerja positif pada pekan terakhir Desember 2023. Indeks reksa dana saham menguat paling tinggi sebesar +0,68%, karena adanya dorongan dari efek Santa Claus Rally pada akhir tahun.
Selanjutnya, disusul oleh indeks reksa dana campuran yang naik +0,54%, diikuti reksa dana pendapatan tetap, dan reksa dana pasar uang yang mencatat return positif masing-masing sebesar +0,16%, dan +0,09%.
Tim riset Infovesta mengatakan, pada pekan perdana 2024, di pasar saham, pergerakan IHSG diproyeksi melanjutkan tren bullish. Investor dapat memanfaatkan momentum volatilitas indeks di awal tahun serta memanfaatkan fenomena January Effect.
"Sedangkan pada pasar obligasi, investor dapat mengurangi porsi SBN dengan tenor pendek dan mulai melakukan akumulasi pada SBN dengan tenor panjang," tulis tim riset Infovesta dikutip Rabu, (3/1/2024).
Head of Investment Specialist Syailendra Capital Teguh Bagja menilai tahun 2024 juga ada resiko perlambatan ekonomi secara global yang patut diwaspadai.
“Sebaiknya investor terus melakukan diversifikasi kelas aset untuk mengelola risiko volatilitas harga," ujar Teguh kepada Bisnis, dikutip Rabu, (3/1/2024).
Kendati demikian, menurutnya menjelang Pemilu 2024 diharapkan angka konsumsi masyarakat akan terus naik yang akan menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah kemungkinan perlambatan ekonomi global.
Investor reksa dana pun disarankan untuk menyesuaikan profil risiko dalam meraup cuan di reksa dana.
"Sebaiknya investor menyesuaikan dengan kondisi profil resiko masing-masing, sebagai contoh untuk investor dengan profil risiko balance mungkin bisa mempertimbangkan komposisi 40% RD Saham, 30% RD Fixed Income, dan 30% RD Pasar Uang," jelasnya.