Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah dibuka menguat mengawali pekan ini, Senin (27/11/2023). Mayoritas mata uang Asia juga perkasa di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) pada pagi ini.
Berdasarkan data Bloomberg, pada 09.02 WIB, nilai tukar rupiah menguat 0,16% atau 25 poin ke level Rp15.540 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback terhadap mata uang utama tercatat melemah 0,05% atau 0,05 poin ke 103,35.
Pada saat sama, yen Jepang menguat 0,19%, dolar Taiwan terapresiasi 0,12%, won Korea Selatan naik 0,25%, yuan China juga naik tipis 0,04%, dan ringgit Malaysia menguat 0,15%.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan dolar AS melanjutkan pelemahan setelah terdepresiasi terhadap mata uang global pada pekan lalu, didorong oleh data manufaktur PMI AS yang lebih lemah dari perkiraan pada November 2023
S&P Global US Manufacturing PMI turun menjadi 49,4, lebih rendah dari perkiraan 49,9, dan juga lebih rendah dari periode sebelumnya yang sebesar 50,0. PMI manufaktur yang berada di bawah 50 mengindikasikan adanya fase kontraksi pada sektor manufaktur AS.
“Melemahnya kinerja sektor manufaktur AS mendorong menguatnya ekspektasi terhadap puncak Fed Funds Rate [FFR], sehingga mendorong depresiasi dolar AS,” kata Josua kepada Bisnis, Senin (27/11/2023).
Baca Juga
Sementara itu, data S&P Global US Service PMI naik menjadi 50,8 dari 50,6, lebih tinggi dari perkiraan pasar yang sebesar 50,3. Meskipun tercatat lebih kuat dari perkiraan, S&P global melaporkan bahwa lapangan kerja di sektor jasa menurun, yang merupakan penurunan pertama kalinya sejak Aprril 2020. Akibatnya, data PMI jasa hanya sedikit mempengaruhi sentimen.
Josua memprediksi nilai tukar rupiah hari ini akan berada dalam rentang Rp15.500-15.600 per dolar AS. Adapun mayoritas obligasi rupiah diperdagangkan flat di tengah tren kenaikan obligasi AS pasca libur Thanksgiving.
Dari sentimen domestik, pekan lalu pemerintah mengumumkan bahwa pada Oktrober 23, APBN mencatat defisit sebesar Rp0,7 triliun, atau setara dengan defisit 0,003% PDB. Defisit APBN yang lebih rendah disebabkan oleh realisasi belanja yang lebih lambat.
Volume perdagangan obligasi pemerintah Indonesia pun mencatat rata-rata Rp13,14 triliun pada minggu lalu, lebih rendah dibandingkan minggu sebelumnya yang rata-rata sebesar Rp17,70 triliun.