Bisnis.com, JAKARTA – Grup Astra PT United Tractors Tbk. (UNTR) menargetkan penjualan alat berat hingga 4.000 unit sepanjang 2024.
Corporate Secretary United Tractors Sara K. Loebis mengatakan target tersebut lebih rendah dibandingkan target 2023 disebabkan oleh perkiraan kebutuhan alat berat dan harga komoditas khususnya batu bara sudah mulai melandai.
“Memang kalau tahun depan kami perkirakan dia akan lebih rendah sih dari tahun ini. Karena harga komoditas, khususnya batu bara sudah mulai melandai. Kemudian alat berat sudah banyak kami penuhi tahun ini,” kata Sara saat ditemui di Jakarta, Kamis (23/11/2023).
Sara juga menjelaskan hajatan Pemilu memengaruhi permintaan dan kebutuhan alat di sektor konstruksi infrastruktur. Dampak ini memang tidak terlalu besar berpengaruh ke penjualan alat berat namun permintaan cenderung tertunda hingga menunggu Pemilu selesai.
Seperti yang diketahui, UNTR menargetkan penjualan alat berat sepanjang 2023 sebanyak 5.800 unit hingga 6.000 unit. Adapun realisasi penjualan alat berat merek Komatsu sepanjang Januari-September 2023 mencapai 4.365 unit, turun 3,72% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/YoY) sebanyak 4.534 unit.
Penurunan penjualan alat berat dikarenakan penurunan permintaan dari sektor konstruksi dan perkebunan.
Baca Juga
Kemudian jika melihat laporan keuangan kuartal III/2023, UNTR mencetak pendapatan bersih sebesar Rp97,59 triliun. Pendapatan bersih ini meningkat 6,63% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp91,53 triliun.
Masing-masing unit usaha yaitu mesin konstruksi, kontraktor penambangan, pertambangan batu bara, pertambangan emas, industri konstruksi, dan energi secara berturut-turut memberikan kontribusi sebesar 29%, 40%, 25%, 4%, 2%, dan kurang dari 1% terhadap total pendapatan bersih konsolidasian.
Sementara itu, laba bruto UNTR meningkat sebesar 2% dari Rp25,3 triliun menjadi Rp25,7 triliun. Sementara itu, laba yang diatribusikan ke pemilik entitas induk atau laba bersih UNTR turun sebesar 3% menjadi Rp15,3 triliun, dari Rp15,9 triliun akibat kenaikan biaya keuangan dan kerugian nilai tukar mata uang asing.