Bisnis.com, JAKARTA - Entitas Grup Pertamina, PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS) atau PGN membeberkan latar belakang terjadinya force majeure perihal pengiriman kargo LNG ke Gunvor.
Rachmat Hutama, Corporate Secretary PGAS, sebelumnya PGN melakukan kesepakatan Master LNG Sale and Purchase Agreement (MSPA) berkaitan dengan pembelian dan penjualan LNG. PGN bertindak sebagai penjual, sedangkan Gunvor Singapore Pte Ltd sebagai pembeli.
"Perseroan dan Gunvor juga telah menyepakati Confirmation Notice (CN) sebagai tindak lanjut MSPA," papar Rachmat dalam keterangan tertulis, Senin (13/11/2023).
MSPA dan CN keduanya tertanggal 23 Juni 2022, dan CN menjadi efektif terhitung sejak terpenuhinya Condition Precedent, yaitu 30 September 2022. Pengiriman LNG berdasarkan CN dijadwalkan terjadi antara Januari 2024 hingga Desember 2027.
MSPA dan CN mengatur bahwa PGN akan mengirim kargo LNG ke Gunvor, dan berhak menerima pembayaran dari Gunvor atas pengiriman kargo LNG tersebut.
PGN merupakan subholding dari Pertamina. Sebagai wujud pelaksanaan tugas subholding akan dilaksanakan alih bisnis LNG milik Pertamina kepada PGN. PGN dan Gunvor menandatangani MSPA dan CN dengan tujuan PGN akan menjual LNG tertentu dari portofolio Pertamina kepada Gunvor.
Baca Juga
Namun demikian, terjadi kondisi force majeure, yakni kendala yang menyebabkan tertundanya proses novasi portofolio LNG dari Pertamina ke PGN. Hal ini berimbas kepada terkendalanya pengiriman kargo LNG kepada Gunvor.
Sehubungan force majeure belum ada dampak kejadian dampaknya terhadap kegiatan operasinal, hukum, dan keuangan perseroan. Pihak Gunvor juga belum melakukan tuntutan terhadap PGN.
Analis DBS Group William Simadiputra menjelaskan
saham PGAS semakin tertekan dengan adanya pengumuman force majeure pada kontrak LNG dengan Gunvor Singapura. Force majeure tersebut adalah pelaksanaan master LNG sale and purchase agreement dan confirmation notice (CN) antara perseroan selaku penjual dengan Gunvor Singapore Pte Ltd selaku pembeli.
PGAS sendiri mengumumkan bahwa kondisi ini tidak akan berlangsung lama, perkiraannya hanya beberapa bulan pada 2024 mendatang.
Menurut William, force majeure ini dapat menghalangi PGAS untuk berekspansi ke bisnis LNG setelah bisnis Floating Storage Regasification Unit (FSRU) gagal berkembang akibat perselisihan dengan Hoegh LNG sejak tahun 2021.
Seperti yang diketahui, Agustus 2021 PGAS dikabarkan berselisih dengan Hoegh LNG. Saat itu anak usaha PGAS mengajukan arbitrase ke Singapore International Arbitration Centre karena ingin menyudahi kontrak penyewaan kapal Hoegh LNG.
PGAS berpendapat bahwa saat itu terdapat ketidakadilan dalam penyewaan kapal. Gugatan pun dilayangkan untuk lease, operation and maintenance agreement dalam pengelolaan Floating Storage & Regasification Unit (FSRU) Lampung.
Adapun kondisi serupa yang dialami PGAS saat ini juga diprediksi memukul investor terutama terkait dengan porvisi. Force majeure yang sedang berlangsung berarti potensi provisi tambahan untuk kontrak Gunvor sekitar US$100 juta- US$240 juta di kuartal IV/2023.
Seiring dengan kondisi tersebut, William merekomendasikan untuk hold saham PGAS dengan target harga di Rp1.050. Target harga ini turun 6% dibandingkan target sebelumnya di level Rp1.400 per saham.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.