Bisnis.com, JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka stagnan cenderung melemah pada awal perdagangan Kamis, (9/11/2023). Adapun sebagai respons terhadap gejolak ekonomi dunia, BI akan merilis Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI). Dua instrumen tersebut akan melengkapi instrumen yang sudah diterapkan sebelumnya, yakni Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Mata uang Asia terpantau bervariasi pada pagi ini menjelang pidato pejabat Bank Sentral Federal Reserve (The Fed) terkait arah kebijakan suku bunga.
Berdasarkan data Bloomberg dikutip Kamis, (9/11/2023) pukul 09.07 WIB, rupiah dibuka stagnan 0,00% atau hanya 0,5 poin ke level Rp15.649 per dolar AS, setelah ditutup lesu pada perdagangan kemarin. Sementara itu, indeks mata uang Negeri Paman Sam terpantau melemah 0,09% ke posisi 105,50 pada pagi ini.
Rupiah pun terus mengalami tekanan dengan terkoreksi 0,10% atau 15,50 poin ke Rp15.634,50 pada 09.18 WIB.
Sederet mata uang Asia terpantau perkasa terhadap dolar AS pagi ini. Misalnya, yen Jepang menguat 0,07%, dolar Hongkong naik 0,04%, dolar Singapura menguat 0,05%, won Korea menguat 0,11%, peso Filipina naik 0,16%, ringgit Malaysia naik 0,11%, dan baht Thailand terapresiasi 0,18%.
Sementara itu, mata uang Asia yang melemah terhadap dolar AS yaitu hanya yuan China melemah 0,06%, rupee India turun tupis 0,01%, dan dolar Taiwan stagnan.
Baca Juga
Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memproyeksikan nilai tukar rupiah hari ini diprediksi fluktuatif namun berpeluang ditutup melemah pada kisaran Rp15.630- Rp15.700 per dolar AS.
Pasalnya, para pejabat Bank Sentral AS Federal Reserve masih memproyeksikan suku bunga tinggi, terutama menyusul data nonfarm payrolls AS yang lebih lemah dari perkiraan pada Oktober 2023.
Para pejabat The Fed mencatat bahwa inflasi masih terlalu tinggi, dan suku bunga berpotensi naik lebih lanjut dalam beberapa bulan mendatang. Menurutnya, bahkan jika The Fed berhenti sejenak, diperkirakan akan mulai memangkas suku bunga pada pertengahan tahun 2024.
"Bank sentral memberi isyarat bahwa suku bunga AS akan tetap lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama, kemungkinan besar akan tetap di atas 5% hingga akhir tahun 2024," ujar Ibrahim dalam riset, dikutip Kamis (9/11/2023).
Dari regional, data ekspor China pada Selasa, (8/11/2023) turun lebih besar dari perkiraan, sementara neraca perdagangan Negeri Tirai Bambu menyusut ke level terendah dalam 17 bulan pada Oktober 2023. Fokus pasar saat ini tertuju pada data inflasi China, yang akan dirilis pada hari ini, Kamis, (9/11/2023).
Dari sentimen domestik, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 6%. Kenaikkan suku bunga ini akan berdampak terhadap berbagai sektor mulai dari properti, asuransi, sampai kredit yang disalurkan perbankan.
Menurut Ibrahim, BI melakukan tindakan pre-emptive dan forward looking di tengah ketidakstabilan global. BI ingin mendukung kestabilan nilai rupiah di tengah volatilitas yang tinggi.
Volatilitas tinggi ini tercermin dari angka yield obligasi Amerika Serikat (AS) yang sedang berada di level 5%, tertinggi sejak 2007 sehingga BI tidak bisa lagi menahan suku bunga.