Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) pada akhirnya mengerek suku bunga acuan atau BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI-7DRR) sebesar 25 bps menjadi 6% setelah menahan level 5,75% sejak Januari 2023.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual melihat kenaikan tersebut sebagai antisipasi kemungkinan menipisnya imbal hasil riil karena tingkat inflasi ke depan cenderung naik.
Sementara dengan asumsi Federal Reserve yang akan menaikkan Fed Fund rate, potensi keluarnya modal asing dari Indonesia juga akan lebih tinggi.
“Rupiah lumayan tertekan akhir-akhir ini karena inflow DHE di bawah ekspektasi sejak kebijakan DHE diluncurkan Agustus 2023, sedangkan portfolio sudah outflow dalam periode yang sama sejak Agustus 2023,” ujarnya, Kamis (19/10/2023).
Untuk menjaga ketahanan rupiah, BI pun juga telah mengeluarkan instrument serupa Sekuritas Rupiah BI (SRBI), namun untuk valas.
Penerbitan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) sebagai instrumen moneter yang pro-market untuk pendalaman pasar uang dan mendukung upaya menarik portfolio inflows, dengan mengoptimalkan aset surat berharga dalam valuta asing yang dimiliki Bank Indonesia sebagai underlying.
Menurut David, dengan ekspektasi instrumen-instrumen tersebut untuk menahan pelemahan rupiah lebih dalam, mata uang dalam negeri masih akan berpotensi tembus ke level Rp16.000 per dolar AS.
“Jangka pendek rupiah masih Rp15.500-Rp16.000 [per dolar AS],” lanjutnya.
Di sisi lain, Ekonom Bank Danamon Irman Faiz justru meyakini rupiah akan menguat yang akan diiringi dengan inflasi yang akan tetap rendah dengan BI rate yang menjadi 6%.
Menurutnya, keputusan BI untuk menaikkan suku bunga sejalan dengan pihaknya, bahwa para pembuat kebijakan moneter dapat mengambil kesempatan untuk mengimplementasikan kenaikan suku bunga pada kuartal ini untuk mendukung Rupiah.
Tekanan baru-baru ini terhadap mata uang negara berkembang, termasuk Rupiah, memiliki kemiripan dengan kejadian pada 2018, di mana BI merespons dengan melakukan rapat darurat pada saat itu.
Terutama, didorong oleh tiga faktor penting. Pertama, Federal Reserve yang hawkish. Kedua, defisit transaksi berjalan yang melebar. Ketiga, pertimbangan politik terkait pemilu.
“Dengan mengambil langkah untuk meningkatkan suku bunga kebijakan ini, kami mengantisipasi bahwa hal ini akan berkontribusi pada penguatan Rupiah menjelang akhir tahun,” ujarnya.
Adapun, mengutip data Bloomberg, Kamis (19/10/2023) pukul 15.10 WIB, rupiah melemah 0,54% atau 85 poin menuju level Rp15.815. Di tengah pelemahan nilai tukar rupiah, indeks dolar AS terus merangkak naik ke posisi 106,58.