Bisnis.com, JAKARTA - Bursa Karbon yang diluncurkan oleh Presiden RI Joko Widodo, Indonesia Carbon Xchange (IDX Carbon), pada 26 September 2023 sejatinya adalah langkah nyata Pemerintah untuk untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan emisi karbon sekaligus mewujudkan net zero emission pada 2060.
Selain itu peluncuran tersebut juga sebagai implementasi atas isi perjanjian untuk menekan karbon dengan 195 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2016 yang dikenal dengan Paris Agreement.
Bursa Karbon sendiri merupakan implementasi dari POJK No. 14/2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon yaitu sebuah perdagangan unit karbon antarpengguna industri yang menghasilkan karbon dioksida, teknisnya industri dengan tingkat emisi tinggi membeli unit karbon industri dengan emisi rendah.
Langkah ini merupakan langkah strategis di tengah meningkatnya efek GRK yang mencapai 413,2 bagian per juta pada 2020. Peningkatan tersebut lebih tinggi daripada rata-rata tahunan selama dekade terakhir meski ada penurunan 5,6% dalam emisi karbondioksida dari bahan bakar fosil karena pembatasan mobilitas manusia sepanjang pandemi Covid-19.
Data dari kantor iklim PBB disebutkan bahwa emisi global pada 2030 diproyeksikan menjadi 16% lebih tinggi dari 2022. Di tahun 2022 inilah menjadi catatan rekor tertinggi emisi karbon dioksida sejak pencatatan pada 1900, saat maraknya penggunaan batu bara sebagai bahan bakar industri, termasuk untuk produksi sumber listrik yang berbiaya rendah.
Bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya, emisi karbon begitu sangat terasa saat adanya fenomena polusi beberapa bulan ini, terlebih saat musim kemarau seperti saat ini. Masyarakat mulai terganggu aktifitasnya di luar ruangan, bahkan banyak yang jatuh sakit akibat kualitas udara yang buruk. Di beberapa Negara, bursa karbon juga sudah mulai dijalankan, di Uni Eropa sudah sejak 2005, New Zealand sejak 2008, Kazakhstan sejak 2013, Kanada sejak 2019, Meksiko di 2021.
Baca Juga
Namun, untuk menuju net zero emission tidak bisa hanya mengandalkan perdagangan karbon saja. Karena penyebab GRK bukan hanya Karbon Dioksida (CO2), tetapi juga ada gas-gas lain yang turut berkontribusi, seperti; Belerang Dioksida (SO2) yaitu gas beracun dari gunung berapi, Nitrogen Monoksida (NO), Nitrogen Dioksida (NO2) seperti seperti asap rokok, atau polutan dari kendaraan, kemudian ada juga Gas Metana (CH4).
Dalam hal ini, Masyarakat secara umum juga perlu diajak berpartisipasi untuk menjaga lingkungan hijau yang bebas emisi. Karena tidak hanya industri saja yang berperan strategis dalam penanganan lingkungan hijau.
Data dari Kementrian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa penyebab GRK adalah efek rumah kaca yang terdiri dari gas-gas, seperti: Uap Air (H20) 36%—70%, Karbon Dioksida (CO2) 9%—26%, Metana (CH4) 3%—7%.
Pemerintah pun sudah membuat regulasi secara komperhensif; diawali dengan meratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang (UU) No. 16/2016 di mana dalam UU tersebut disebutkan tentang komitmen para pihak untuk mencapai titik puncak emisi gas rumah kaca secepat mungkin dan melakukan upaya penurunan emisi secara cepat melalui aksi mitigasi.
Juga diantaranya melalui Peraturan Presiden No. 98/2021 (Perpres 98) tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi GRK dalam Pembangunan Nasional, yang pada intinya menekankan pada dua langkah strategis yaitu tentang proyeksi Perdagangan Karbon dan Pajak Karbon, serta pengendalian emisi GRK.
Pemerintah daerah pun juga sudah membuat perda-perda tentang Lingkungan Hijau. Di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) misalnya, melalui Perda No. 13/2019 yang di dalamnya terdapat aturan teknis tentang pengelolaan sampah, bahkan sampai ada ketentuan pelarangan membuang sampah sembarangan, membakar sampah, dengan disertai sanksi dan pelanggaran pidana denda sampai Rp50 juta.
Akan tetapi yang terpenting dari semua ini adalah soal implementasi dan penegakan hukum yang serius. Misal dalam pasal 47 Perpres 98 disebutkan bahwa Penyelenggaran NEK selain perdagangan karbon, juga ada pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon, dan/atau mekanisme lain.
Soal implementasi ini misalnya; pungutan atas karbon atau pajak karbon harusnya bisa dilakukan paralel dengan dimulainya bursa karbon, akan tetapi pemerintah sendiri menunda hingga 2025.
Padahal dengan pemberlakukannya bersamaan dengan peluncuran Bursa Karbon, justru akan makin masif daya dorong untuk mengkapitalisasi dari NEK tersebut.
Kemudian soal penegakan hukum misalnya; masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk menekan emisi, hal ini ditandai dengan masih banyaknya pembakaran sampah. Di Tangsel meski ada Perda dengan denda sampai Rp50 juta juga, pembakaran sampah oleh warga tetap marak, hal ini karena tidak adanya penegakan hukum yang serius. Jika ada masalah dalam penegakan hukum di lingkaran tersebut, maka segera dibenahi dari hulu ke hilir.
Misalnya, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Cipeucang, Tangsel yang sudah over capacity, hal ini perlu segera dibehani, bukan lantas pilihannya membiarkan warga untuk membakar sampah, karena over capacity di TPA tersebut. Pemerintah setempat segera mencari alternatif solusi agar tidak ada dampak signifikan yang sangat besar.
Pada akhirnya, mari kita dukung Bursa Karbon dengan tidak membiarkan Bursa Karbon berjuang sendirian untuk menekan laju emisi karbon. Langkah implementatif dari pemerintah juga kesadaran dari masyarakat sangat diperlukan, agar Bursa Karbon terhindar dari ‘bulan-bulanan tuduhan ketidakberhasilan pengendalian’ dikemudian hari jika target pengendalian emisi belum sesuai.