Bisnis.com, JAKARTA — Ketidakpastian suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Fed diprediksi masih menekan kinerja pasar obligasi Indonesia.
Chief Economist Permata Bank Josua Pardede menyampaikan, ketidakpastian The Fed untuk kembali menaikan suku bunga acuannya telah berdampak pada yield US treasury 10 tahun. Berdasarkan data Investing, Kamis (5/10/2023), tingkat imbal hasil obligasi AS tersebut naik 0,61 persen ke 4,7 persen.
Hal ini pun membuat yield SBN tenor 10 tahun RI melonjak hingga 1,31 persen atau 0,092 poin menuju ke level tertingginya 7,12 persen.
“Pasar obligasi diperkirakan masih akan cenderung tertekan akibat sentimen The Fed terutama ketidakpastian terkait puncak dari kebijakan suku bunga Fed. Sentimen ini mendorong kenaikan yield US yang berdampak pada keluarnya investor asing dari pasar obligasi domestik,” ujar dia ketika dihubungi Bisnis, Kamis (5/10/2023).
Adapun, sentimen global ini pun diramal baru mereda pada November 2023 atau saat di mana The Fed diperkirakan akan mengerek kembali suku bunga acuannya.
Yield obligasi RI, ujar Josua, diprediksi akan jauh lebih rendah ke kisaran 5 persenan pada 2024 seiring dengan adanya proyeksi penurunan suku bunga acuan The Fed pada tahun depan.
Baca Juga
Di hubungi terpisah, Senior Economist Mirae Asset Sekuritas Rully Wisnubroto menilai bahwa pasar obligasi RI masih sulit untuk diprediksi mengingat volatilitas yang masih tinggi hingga saat ini.
Berkaca pada kondisi tersebut, Rully menilai bahwa pemerintah perlu menawarkan kupon Surat Berharga Negara (SBN) yang lebih menarik jika dibandingkan dengan bunga deposito. Hal ini pun dinilai Rully dapat mendorong minat investor domestik terhadap SBN hingga penghujung tahun 2023.
“Salah satu faktor penting yang berpengaruh juga adalah fluktuasi nilai tukar, saat ini pun kenaikan yield obligasi RI juga dipicu oleh pelemahan rupiah. Namun demikian, pasar obligasi masih berpotensi untuk memberikan kinerja baik hingga akhir 2023,” ujar dia kepada Bisnis, Kamis (5/10/2023).