Bisnis.com, JAKARTA - Dari 32 bank yang ambil bagian dalam lelang perdana itu, nilai total SRBI yang berhasil dibukukan mencapai Rp24,45 triliun.
Sementara itu, sasaran awal yang dipatok BI ‘hanya’ Rp7 triliun. Artinya, klaim bahwa SRBI lebih pro-market terbukti. Pasar sangat positif merespons kehadiran instrumen baru SRBI.
Alhasil, target yang diemban atas penerbitan SRBI sudah menyalakan lampu hijau. Emisi SRBI ditujukan untuk mengoptimalkan aset surat berharga negara (SBN) yang dimiliki BI.
Sementara itu, BI memegang SBN senilai Rp1.000-an triliun ‘warisan’ dari skema berbagi beban dalam membiayai penanganan dampak pandemi Covid-19.
Emisi SRBI yang berbasis SBN itu diharapkan juga mendorong pendalaman pasar, serta pengembangan pasar uang domestik.
Perbankan berlebih likuiditas yang selama ini lebih suka meminjamkannya ke pasar uang antarbank (PUAB) bisa mengalihkannya pada SRBI. Imbal hasil dari keduanya pun sangat kompetitif.
Baca Juga
Pemunculan SRBI juga bisa menjadi alternatif bagi instrumen Negotiable Certificate of Deposit (NCD) yang diinisiasi sejak 2017. Instrumen SRBI –sebagaimana NCD– dapat diperjualbelikan di pasar sekunder antara perbankan dan investor, alih-alih perbankan dengan BI layaknya operasi pasar terbuka konvensional.
Namun di balik oversubscribe itu, misi penerbitan SRBI untuk berkontribusi kepada stabilitas nilai tukar rupiah agaknya masih menjadi pertanyaan besar. Jangankan bertransaksi dengan pemodal asing, menjual SRBI kepada nasabah domestik pun, perbankan agaknya belum memiliki produk spesifik untuk mengemasnya.
Pokok masalahnya, underlying asset emisi SRBI adalah SBN, sedangkan SBN diterbitkan oleh Kementerian Keuangan. Penerbitan SBN itu sendiri tanpa aset rujukan, melainkan hanya mengandalkan kepercayaan. Undang-Undang No. 24/2002 menegaskan pemerintah menjamin pembayaran SBN beserta kupon imbal hasilnya.
Sebagai komparasi, penerbitan instrumen sekuritas korporasi di sektor privat, misalnya senantiasa berbasis kepada prospek pendapatan dari aset fisik sebagai rujukannya. Nilai aset fisik induk tersebut sangat besar lantaran bertindak sebagai semacam jaminan atas penerbitan sekuritas yang menjadi aset derivatifnya.
Pada titik ini, masyarakat (termasuk pemain asing) yang tertarik memegang SRBI sejatinya berstatus sebagai pembeli ‘ketiga’, yakni dari Kementerian Keuangan ke BI, dari BI ke perbankan, lantas dari perbankan ke publik. Kalkulasi kepercayaan kadang tidak selalu kompatibel dengan hitung-hitungan finansial.
Kalaupun persoalan di atas bisa direduksi, alur cerita tidak berhenti sampai di situ. Minat pemain asing memegang SRBI tidak serta merta beranjak menjadi permintaan riil. Pertimbangan risiko dan imbal hasil akan menentukan keputusannya. Artinya, aliran masuk valuta asing ke pasar keuangan domestik tidak langsung terealisasi.
Tesis di atas tidak mengada-ada. SRBI toh diterbitkan untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan. Komposisi tenor SRBI itu tampaknya belum merepresentasikan dinamika semua preferensi yang berkembang. Preferensi pemain asing yang misalnya sebatas ingin bermain ‘aman’ agaknya belum terakomodasi di situ.
Bagi pemain asing, SRBI bertenor 1 atau 3 bulan dipandang ‘ideal’ dengan tenggat pendek plus risiko yang rendah. Penerbitan SRBI untuk kedua tenor tersebut sejatinya lebih mampu menangkap aliran hot money yang hendak mengambil posisi jangka pendek. Intinya, SRBI dari sisi tenor agaknya kurang atraktif.
Dalam scope yang lebih luas, penerbitan SRBI akan bersaing head-to-head dengan instrumen serupa yang ditawarkan negara lain. Suku bunga diferensial antara pasar keuangan Indonesia dan Amerika Serikat belakangan toh terus menyempit. Pemodal asing sebagai pembeli ‘ketiga’ SRBI niscaya akan menuntut suku bunga diskonto tinggi.
Persoalannya, apakah suku bunga diskonto SRBI mampu memengaruhi imbal hasil yang ditawarkan pasar aset keuangan substitusinya. Lemahnya daya gravitasi suku bunga diskonto SRBI membuat pemain asing tetap nyaman berkiprah di pasar saham, SBN, atau obligasi korporasi, baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Sampai di sini, misi perputaran likuiditas yang diemban SRBI bisa jadi tidak kesampaian. Pengalaman penerbitan NCD toh sudah memberikan pelajaran berharga. Penurunan kinerja pasar NCD dalam beberapa tahun terakhir lebih dominan disebabkan oleh keengganan investor domestik dalam memegang NCD.
Dengan logika NCD di atas, pemain asing belum melihat keunggulan kompetitif SRBI sebagai alternatif aset portofolio di Indonesia. Apalagi pasar sekunder untuk memfasilitasi transaksi sekuritas belum sekuat di negara lain. Bagaimanapun, ‘bermain’ di pasar sekunder menuntut cara berpikir yang berbeda dengan di pasar primer.
Alhasil, efek penerbitan SRBI terhadap aliran masuk valuta asing (capital inflow) dan stabilisasi nilai tukar rupiah masih menuntut kerja cerdas dari semua pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya. Konkretnya, penerbitan SRBI perlu dibarengi dengan pengembangan semua perangkat yang menaunginya.
Lewat dukungan ekosistem SRBI yang kukuh, sustainability aliran masuk valuta asing dan stabilitas nilai tukar rupiah niscaya akan lebih terjamin. Pada akhirnya, tiga target yang termaktub dalam penerbitan SRBI akan seluruhnya tercapai, dan suasana batin optimisme BI pun kian membuncah. Bukan begitu?