Bisnis.com, JAKARTA – Industri perdagangan aset kripto ramai dengan isu decentralized exchange (DEX) dan centralized exchange (CEX) dalam beberapa tahun belakangan. Apa bedanya?
Founder & CEO PINTU Jeth Soetoyo menjelaskan bahwa penggunaan DEX dan CEX pada akhirnya hanya merupakan sebuah spektrum, dan keduanya bisa berjalan berdampingan.
“Seperti halnya kita membutuhkan bank dan dompet fisik untuk menyimpan uang, beberapa orang lebih memilih untuk menyimpan crypto di DEX, sementara yang lain lebih memilih di CEX, tergantung pada kebutuhan masing-masing individu,” jelasnya dalam keterangan resmi, Rabu (30/8/2023).
Sebagai gambaran, perbedaan CEX dan DEX sebenarnya hanya terkait pendekatan transaksi aset. CEX melibatkan sebuah organisasi pusat yang berperan sebagai pihak ketiga dalam menyimpan aset, menetapkan biaya-biaya, dan mengatur pertukaran. Sementara DEX memanfaatkan blockchain sebagai bursa peer-to-peer alias mempertemukan penjual dan pembeli aset.
Oleh sebab itu, keunggulan CEX berada dari sisi volume transaksi dan likuiditas tinggi, namun biasanya terpusat, berada di bawah regulasi suatu pemerintah, dan lebih rentan terhadap peretasan atau scam.
Sementara itu, DEX cenderung memiliki fungsionalitas yang terbatas, namun memiliki keuntungan berupa keamanan yang lebih terjamin karena semua transaksi dilakukan tanpa melalui perantara pihak ketiga dan setiap pihak memegang kunci privat secara mandiri.
Baca Juga
“Meskipun saya setuju bahwa industri kripto bergerak menuju Web3 dan decentralized finance (DeF)i, tetapi mengelola kunci dan wallet secara mandiri bukanlah konsep yang mudah bagi banyak orang. Oleh karenanya, saya percaya bahwa DEX maupun CEX bisa berjalan berdampingan,” tambahnya.
Jeth menjelaskan bahwa berdasarkan laporan dari Coinmarketcap, pada semester I/2023 total volume perdagangan CEX mencapai U$1,67 triliun, mengungguli DEX yang hanya berkontribusi sebesar U$189 miliar.
Menurutnya, ada tiga faktor yang setidaknya mendorong volume perdagangan berbasis DEX dan CEX. Pertama, kemudahan dalam berinvestasi pada aset kripto yang menarik bagi banyak orang, didorong lahirnya DEX dan CEX yang memberikan kemudahan investasi dan menyimpan aset.
“Kedua, profil risiko dari pengguna di Asia khususnya Indonesia yang menyukai produk keuangan high risk high return. Faktor ketiga, yaitu peran regulator atas rumusan regulasi yang ramah bagi ekosistem kripto khususnya di Indonesia. Dalam setahun terakhir, regulasi kripto di Asia Tenggara lebih dinamis dibandingkan dengan negara barat. Kami sangat mengapresiasi peran aktif pemerintah dalam mendukung kemajuan industri kripto,” ujar Jeth.
Terlebih, baru-baru ini pemerintah melalui Kementerian Perdagangan resmi meluncurkan bursa kripto melalui keputusan Kepala Bappebti Nomor 01/BAPPEBTI/SP-BBAK/07/2023.
Adapun, PT Bursa Komoditi Nusantara atau Commodity Future Exchange (CFX) terpilih menjadi pengelola bursa aset crypto Indonesia. PINTU pun mendukung secara penuh pendirian Bursa Kripto Nusantara (BKN) yang diharapkan memperkuat daya saing dan penetrasi aset kripto di Indonesia.
Selain itu, menurutnya regulasi di Tanah Air saat ini sedang bertransisi dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kerangka yang digunakan adalah untuk memisahkan peran dari sebuah bursa, kliring, penyimpanan aset, dan pialang agar terdapat akuntabilitas dari berbagai peserta untuk bagian bisnis yang berbeda.
“Tentu dengan lebih jelasnya aturan mengenai industri kripto, diharapkan dapat mendorong peningkatan penetrasi investasi kripto di Indonesia serta memberikan keamanan penuh bagi investor dan juga para pelaku di industri,” terang Jeth.