Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Saham Garuda Indonesia (GIAA) Kembali Melesat Usai Kabar Merger Maskapai BUMN

Saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) kembali menguat pada pembukaan perdagangan hari ini, Rabu (23/8/2023), tersengat rencana merger maskapai BUMN.
Karyawan melakukan perawatan pesawat milik PT Garuda Indonesia di dalam hanggar di Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng, Banten, Kamis (30/6/2022). Bloomberg/ Dimas Ardian
Karyawan melakukan perawatan pesawat milik PT Garuda Indonesia di dalam hanggar di Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng, Banten, Kamis (30/6/2022). Bloomberg/ Dimas Ardian

Bisnis.com, JAKARTA – Harga saham maskapai penerbangan BUMN, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) kembali menguat pada pembukaan perdagangan hari ini, Rabu (23/8/2023). Hal ini usai perseroan disengat isu merger dengan Citilink dan Pelita Air.

Berdasarkan data RTI Business pukul 09.35 WIB, saham GIAA menguat 8,22 persen menuju level Rp79 per saham. Sebelumnya, saham emiten maskapai penerbangan ini juga ditutup dengan peningkatan sebesar 8,96 persen.

Meski menghijau, harga saham GIAA telah ambles 60,78 persen year-to-date (ytd) dan price to earning ratio (PER) GIAA berada di -3,19 kali dengan kapitalisasi pasar Rp7,32 triliun.

Bursa Efek Indonesia juga masih menyematkan notasi khusus, yakni notasi E atau saham emiten dengan ekuitas negatif, notasi X sedang dalam pemantauan khusus, serta notasi B berarti ada permohonan pernyataan pailit, permohonan pembatalan perdamaian, atau dalam kondisi pailit.

Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir berencana melakukan merger tiga maskapai, yakni PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA), Citilink Indonesia, dan Pelita Air.

Erick menjelaskan, rencana ini merupakan salah satu upaya agar biaya logistik di Indonesia terus menurun sehingga semakin meringankan dunia bisnis. Dia juga mendorong efisiensi terus menjadi agenda utama pada perusahaan-perusahaan milik negara.Dia menyampaikan bahwa Indonesia masih kekurangan sekitar 200 pesawat. Perhitungan ini diperoleh dari perbandingan antara Amerika Serikat (AS) dan Indonesia.

Menurut Erick, AS memiliki 7.200 pesawat yang melayani rute domestik dan melayani sekitar 300 juta penduduk AS dengan rerata Pendapatan Domestik Bruto (PDB) mencapai US$40.000.

Sementara itu, di Indonesia terdapat 280 juta penduduk yang memiliki PDB US$4.700. Hal tersebut berarti Indonesia membutuhkan 729 pesawat.

"Padahal sekarang, Indonesia baru memiliki 550 pesawat. Jadi perkara logistik kita belum sesuai," ujar Erick dalam acara Indonesia Cafetalk di Tokyo, Jepang, dikutip dari keterangan resmi pada Selasa (22/08/2023).

Untuk mengurangi ketertinggalan jumlah pesawat tersebut, Erick mengatakan, tidak menutup kemungkinan adanya penggabungan Garuda Indonesia, Citilink dan Pelita Air. Hal ini sebagai salah satu upaya Kementerian BUMN dalam menekan biaya logistik.

Erick mencontohkan merger yang dilakukan pada PT Pelabuhan Indonesia atau Pelindo dari sebelumnya memiliki empat perusahaan menjadi satu. Hal tersebut akhirnya berdampak pada penurunan biaya logistik dari sebelumnya 23 persen menjadi 11 persen.

“Kami juga upayakan Pelita Air, Citilink, dan Garuda merger untuk menekan cost,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dionisio Damara
Editor : Ibad Durrohman
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper