Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah dibuka menguat ke posisi Rp15.320 terhadap dolar AS pada perdagangan hari ini, Selasa (22/8/2023) saat pasar menanti pidato ketua The Fed Jerome Powell soal suku bunga.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah dibuka menguat 0,03 persen atau 5 poin ke posisi Rp15.320 per dolar AS. Penguatan rupiah tersebut diiringi dengan melemahnya indeks dolar sebesar 0,07 persen ke level 103,157.
Sementara itu, mata uang kawasan Asia lainnya bergerak bervariasi. Yen Jepang terpantau bergerak menguat sebesar 0,08 persen, dolar Hong Kong menguat 0,03 persen, dolar Singapura menguat 0,10 persen, dolar Taiwan menguat 0,14 persen dan won Korea naik 0,19 persen.
Selanjutnya peso Filipina juga menguat 0.38 persen dan bath Thailand menguat 0,35 persen. Sementara itu, mata uang yang melemah adalah ringgit Malaysia 0,03 persen, yuan China turun 0,02 persen dan rupee India melemah 0,02 persen.
Sebelumnya, Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memproyeksikan pada perdagangan hari ini, Selasa (22/8/2023) mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah direntang Rp15.310- Rp15.370.
“Kekhawatiran atas kenaikan suku bunga AS, menyusul inflasi yang kuat dan data pasar tenaga kerja, telah menopang dolar dalam beberapa pekan terakhir,” katanya dalam riset harian, dikutip Selasa (22/8/2023).
Baca Juga
Imbal hasil sepuluh tahun naik 14 basis poin untuk minggu ini dan menyentuh level tertinggi 10 bulan di 4,32 persen, sedikit lebih tinggi dari level tertinggi 15 tahun. Imbal hasil tiga puluh tahun naik hampir 11 bps ke level tertinggi dalam lebih dari satu dekade.
Pasar sekarang menunggu isyarat lebih lanjut tentang ekonomi AS dari Simposium Jackson Hole akhir pekan ini, di mana Ketua The Fed Jerome Powell juga diperkirakan akan berbicara.
Sebelumnya, PBOC memangkas LPR satu tahun sebesar 10 basis poin (bps) menjadi 3,45 persen, sedangkan LPR lima tahun, yang digunakan untuk menentukan tingkat hipotek, dibiarkan tidak berubah di 4,20 persen.
Mengingat kurangnya dukungan moneter, investor sekarang meminta pemerintah untuk meluncurkan langkah-langkah fiskal yang lebih terarah. Tetapi analis memperkirakan Beijing akan menunda langkah-langkah tersebut, dengan alasan tingginya tingkat utang pemerintah.