Bisnis.com, JAKARTA – Saham-saham perusahaan China membebani indeks saham Asia setelah The People’s Bank of China (PBOC) memangkas suku bunganya yang kurang dari perkiraan pasar.
Saat pasar saham di China turun, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil bertahan di zona hijau hingga perdagangan sesi pertama hari ini. IHSG terpantau menguat 0,11 persen atau 7,51 poin ke 6.867,42. Sebanyak 225 saham naik, 290 saham melemah, dan 214 saham stagnan.
Indeks Hang Seng di Hong Kong turun sebanyak 1,8 persen pada Senin dan menjadi penutupan terendah sejak November 2022. Saham-saham di China juga turun, dengan saham keuangan berkinerja terburuk.
Sementara itu, indeks saham di Jepang dan Korea Selatan naik, tetapi kenaikan mereka mungkin tidak mencegah benchmark pasar saham Asia menuju ke level terendah sejak Maret 2023.
Hari ini, PBOC memotong suku bunga pinjaman satu tahun (loan prime rate/LPR) sebesar 10 basis poin, namun mempertahankan suku bunga pinjaman lima tahun tidak berubah.
Investor saham sebelumnya mengharapkan pemotongan setidaknya 15 basis poin pada kedua suku bunga.
Baca Juga
"Penahanan yang mengejutkan dari LPR lima tahun tidak konsisten dengan nada kebijakan keseluruhan bailout properti. Pesan kebijakan penahanan LPR ini akan membingungkan pasar dan melemahkan dampak sentimen,” kata Raymond Yeung, kepala ekonom untuk China di ANZ Banking Group Ltd, mengutip Bloomberg, Senin (21/8/2023).
Data suku bunga pinjaman yang mengecewakan menambah kekhawatiran investor pada pemulihan ekonomi China yang lemah dan dampaknya pada pasar lain.
Kekhawatiran mengenai kejatuhan sektor properti di China menyebabkan Goldman Sachs Group Inc. menurunkan estimasi pertumbuhan pendapatan per saham setahun penuh untuk MSCI China menjadi 11 persen dari 14 persen.
Goldman Sachs juga mengurangi target indeks 12 bulan dari 70 menjadi 67, menyiratkan pengembalian 13 persen selama 12 bulan ke depan.
"Sampai tanggapan kebijakan yang lebih kuat tersedia untuk mendukung risiko sektor properti, kami percaya saham China akan menetap di kisaran perdagangan yang lebih rendah dari yang kami perkirakan sebelumnya," tulis ahli strategi ekuitas Goldman, Kinger Lau dan Timothy Moe.
Sementara itu, nilai tukar yuan memperpanjang kelemahannya terhadap Dolar AS. Bank Rakyat China sebelumnya menetapkan kurs referensi harian untuk yuan pada level yang lebih kuat dari perkiraan rata-rata dalam survei Bloomberg.
Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS diperdagangkan sedikit berubah, menyusul penurunan kecil pada Kamis dan Jumat yang memangkas kenaikan lima minggu. Adapun imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun mendekati level tertinggi sejak November 2007.