Bisnis.com, JAKARTA – Program hilirisasi yang digaungkan pemerintah masih belum berjalan dengan optimal, sehingga menyebabkan masalah lain terhadap kebijakan ekspor nikel.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyarankan pemerintah agar menyetop pelarangan ekspor komoditas, yang dinilai akan merugikan Indonesia ke depan.
Pandangan ini selaras dengan rekomendasi Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), yang meminta pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan penghapusan kebijakan pembatasan ekspor komoditas.
Bhima menuturkan permasalahan saat ini adalah proses hilirisasi yang diolah hanya mencapai setengah jadi. Kondisi ini dinilai mengganggu efektivitas dari kebijakan larangan ekspor.
“Jadi, kalau cuma tanggung setengah hilirisasi sementara insentif yang diberikan begitu besar, tentu ini juga akan mengakibatkan ketidakefektifan pelarangan ekspor nikel,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Jumat (30/6/2023).
Masalah berikutnya, kata Bhima, ditemukannya praktik ekspor ilegal bijih nikel dari Indonesia ke China yang diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu.
Baca Juga
KPK mengendus dugaan praktik ekspor 5 juta ore nikel ilegal dari Indonesia ke China selama Januari 2020 – Juni 2022. Padahal, pemerintah sudah melarang ekspor nikel sejak 1 Januari 2020 melalui Peraturan Menteri ESDM No.11/2019.
Dia mengungkapkan masalah lain adalah masih ditemukannya pertambangan nikel yang menjual bahan mentah ke pabrik smelter dengan harga lebih murah dibandingkan harga internasional.
Alhasil, Indonesia dinilai merugi lantaran hilirisasi setengah jadi yang dihasilkan langsung diekspor ke luar negeri, terutama China. Dengan demikian, China mendapatkan nilai tambah yang jauh lebih besar dibandingkan Tanah Air.
“Menurut saya batalkan saja [pelarangan ekspor], terlepas dari IMF yang bicara, ya dari dulu dibatalkan saja yang namanya pelarangan ekspor nikel ini. Jadi, tidak seolah-olah kita mengalami hilirisasi tapi sebenarnya masih banyak yang harus dievaluasi,” pungkasnya.
Selain itu, jika pelarangan ekspor komoditas terus berjalan, dikhawatirkan Uni Eropa akan memenangkan gugatan terkait dengan kasus nikel. Pada saat bersamaan, Indonesia juga akan mengeluarkan banyak biaya untuk mengikuti sidang WTO.
“Kalau mau menarik hilirisasi yang utuh, bukan dengan jalan melakukan proteksionisme seperti pelarangan ekspor biji nikel, tetapi didorong untuk investasi hilirisasinya,” tutur Bhima.
Sebelumnya, IMF melalui laporan terbarunya meminta pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan penghapusan pembatasan ekspor komoditas secara bertahap. Pemerintah juga diminta tidak memperluas kebijakan larangan ekspor ke komoditas lain.
IMF menilai reformasi struktural di dalam negeri sangat penting untuk mendukung pertumbuhan jangka menengah dan harus sejalan dengan kebijakan untuk melakukan diversifikasi ekonomi.
Namun, pemerintah dinilai perlu mempertimbangkan manfaat jangka panjang dan biaya yang harus ditanggung melalui program hilirisasi, termasuk dampak rambatan ke negara lainnya akibat kebijakan pelarangan ekspor komoditas.
Analisis cost-benefit dari kebijakan ini juga perlu dilakukan secara berkala untuk mengetahui apakah kebijakan hilirisasi berhasil, atau perlu diperluas ke komoditas mineral lainnya.