Bisnis.com, JAKARTA - “It is not the strongest of the species that survive, nor the most intelligent, but the one most responsive to change.” —Charles Darwin
Baru-baru ini, Negara Group 7 (G7) kembali melakukan pertemuan di Tokyo, Jepang, untuk membahas pengaturan sekaligus pengawasan aset digital kripto. Hal yang paling dikhawatirkan aset jenis ini kerap kali dipergunakan sebagai sarana pencucian uang, pendanaan terorisme, transaksi haram narkoba, perdagangan manusia, hingga untuk prasarana senjata pemusnah massal, masih merupakan isu sentral secara global.
Pertemuan menteri-menteri keuangan G7 pun yang telah membentuk Gugus Tugas Aksi Keuangan (FATF) masih terus melakukan koordinasi dengan berbagai pihak, terutama penyedia layanan kripto hingga berbagai institusi lintas negara. Singkatnya, pengaturan dan pengawasan transaksi kripto saat ini masih berjalan pada fase awal.
Sebaliknya, sebagaimana ungkapan Bapak Evolusi Charles Darwin, bahwa tak satu pun makhluk yang mampu bertahan kecuali mereka yang responsif terhadap perubahan. Begitu pun dalam menangani aset digital kripto, kegalauan G7 pun menyiratkan tak satu pun otoritas keuangan global yang dapat membendung arus besar inovasi digital ini, respons yang muncul malah mencari cara tepat dan cepat guna mencegah pemanfaatan transaksi ilegal.
Perkembangan ini juga dirasakan langsung di Indonesia, geliat aset digital kripto dianggap sebagai jenis kelas aset baru yang menjadi alternatif. Terdapat beberapa faktor yang merangsang hal tersebut, seperti barrier to entry yang makin kecil, kemudahan proses transaksi, dominasi generasi milenial serta generasi Z, hingga keniscayaan kecepatan penetrasi teknologi digital secara masif.
Lihat saja, tren opsi investasi digital khususnya aset kripto sebagaimana dicatat Bappebti, dengan total investor aggregate mencapai lebih dari 17 juta orang, mayoritas generasi milenial dan Z. Jumlah itu dianggap jauh lebih tinggi dibandingkan investor pasar modal yang saat ini sebanyak 10,3 juta orang.
Baca Juga
Bappebti sebagai regulator pengawasan pada perdagangan fisik aset kripto juga melaporkan nilai transaksi kripto sepanjang 2022 sebesar Rp306,4 triliun, dengan catatan volume tertinggi pernah mencapai Rp859,4 triliun pada 2021. Ada sebanyak 383 jenis aset kripto yang boleh diperdagangkan, tiga jenis aset kripto dengan nilai transaksi terbesar Bitcoin (BTC), Ethereum (ETH), dan Tether (USDT).
Di Indonesia, perdagangan aset kripto sudah berjalan meski dengan regulasi di bawah Kementerian Perdagangan yang dianggap sebagai aset komoditas. Aset kripto secara definitif di Indonesia adalah sesuatu yang diperdagangkan di bursa berjangka, komoditas digital yang memanfaatkan kriptografi, jaringan peer-to-peer (P2P), dan buku besar terdistribusi.
Aset kripto masih membutuhkan regulasi yang lebih menyeluruh dan sistematis, meliputi manajemen risiko, market conduct, perlindungan konsumen dan supervisi. Masih belum adanya kelengkapan regulasi tersebut bisa membuka potensi transaksi di luar sistem, merugikan negara atau menciptakan aliran modal ke luar negeri. Aset digital dapat menantang implementasi capital flow management (CFM) karena status hukum yang ambigu, beroperasi dalam kekosongan peraturan sehingga bisa dimanfaatkan untuk transaksi ilegal.
Seiring dengan pertumbuhan investor dan besarnya transaksi, industri aset digital pun terus melakukan inovasi meliputi sektor pembayaran dan fintech termasuk peer-to-peer (P2P) lending. Khusus aset kripto berbasis teknologi blockchain memungkinkan inovasi lebih jauh seperti mekanisme transfer dan kontrak transaksi secara komputerisasi yang aman, transparan, dan efisien. Beberapa negara telah mempertimbangkan bahwa aset digital kripto bisa menjalankan fungsinya tidak hanya sebagai komoditas, tetapi lebih jauh bisa dikembangkan sebagai security dan currency yang diatur sedemikian rupa sehingga tetap memperhatikan aspek-aspek yang telah berjalan hingga saat ini.
Inovasi aset kripto tersebut seperti utility token, Non-Fungible Token (NFT), security token, dan Decentralized Finance (DeFi). Diversifikasi ini memberikan opsi bagi pengguna, pelaku ekonomi, Pelaku Usaha Sektor Keuangan atau PUSK, dan investor untuk memanfaatkan peluang dalam ekosistem aset digital.
Utility token adalah aset digital yang memberikan akses ke produk atau layanan dalam platform dan tidak dirancang sebagai alat investasi atau medium to exchange, melainkan sebagai alat untuk memfasilitasi interaksi dalam ekosistem. NFT adalah aset digital unik yang tidak dapat digantikan oleh token lain, biasanya digunakan untuk karya seni, koleksi, dan barang kreatif digital lainnya yang dapat dimanfaatkan pelaku seni dan UKM.
Security token dan DeFi memiliki perbedaan dibanding jenis kategori aset kripto lain dalam penggunaannya dan memungkinkan adanya shadow banking jika tidak diatur secara tepat, karena kedua kategori ini sudah masuk ke dalam dunia sistem keuangan praktis yang berhubungan dengan sistem keuangan saat ini. Kedua jenis aset digital ini sangat berkaitan erat sebagai representasi kepemilikan aset riil (saham atau obligasi) dan savings.
Hadirnya aset digital dan dukungan blockchain juga erat hubungannya dengan Central Bank Digital Currency (CBDC), bahkan BI meluncurkan Proyek Garuda yaitu proyek yang memayungi berbagai inisiatif Digital Rupiah dalam penetrasi pasar pada digital ekonomi di Indonesia. Pengenalan Digital Rupiah dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat pada aset digital dan mendorong adopsi yang lebih luas jika dilihat dari pemanfaatan aset digital kripto untuk kegunaan sebagai currency.
OJK dapat berperan aktif dalam menyiapkan perangkat hukum turunannya untuk mendukung adopsi Digital Rupiah secara menyeluruh di Tanah Air. Digital Rupiah akan menjadi katalis bagi perkembangan ekonomi digital dan WEB 3.0 di Indonesia, mendorong inovasi dan kolaborasi yang menguntungkan baik industri keuangan maupun masyarakat.
SINERGI & REGULASI
Berkaca dari pertumbuhan existing dan arah perkembangan ke depan, maka peraturan, pengaturan hingga pengawasan aset digital khususnya kripto membutuhkan sinergi antar lembaga secara nasional maupun global. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang ke depan memiliki wewenang kelembagaan terhadap aset kripto, wajib memiliki sinergi dengan institusi lain utamanya Bank Indonesia dan Bappebti.
Transparansi, regulasi, keamanan, pendidikan, kepatuhan, perlindungan konsumen,pemantauan risiko, kerja sama internasional, etika, dan tanggung jawab sosial adalah prinsip-prinsip penting yang harus ditekankan oleh tata kelola industri aset digital.
Industri harus bekerja sama dengan regulator dan lembaga internasional seperti FATF dan Bank for International Settlements (BIS) untuk mengembangkan standar global yang konsisten,melindungi investor, mencegah praktik ilegal, dan mempromosikan inovasi.
Ekosistem digital inilah yang bakal membuat pengembangan aset kripto sejalan dengan praktik bisnis sehat dan berkontribusi riil terhadap perekonomian nasional. Sebagai langkah strategis, penguatan ekosistem ini bisa dilakukan dengan beberapa hal.
Pertama, menerapkan Regulatory Sandbox yang memiliki konsep “Test & Learn,” merupakan salah satu cara efektif dalam menghadapi perkembangan inovasi dalam industri keuangan. Dalam kerangka ini, innovation hub menjadi bagian integral dari regulatory sandbox, di mana para inovator dan regulator dapat berkolaborasi dan menguji solusi baru dalam lingkungan yang terkendali.
Dengan melakukan uji coba, regulator dapat memahami secara lebih mendalam mengenai dampak dan risiko dari inovasi tersebut sebelum mengambil keputusan terkait regulasi yang lebih komprehensif untuk pengaturan dan pengawasan industri keuangan yang lebih baik.
Kedua, dengan menguatkan pengawasan melalui peranan OJK. Otoritas sendiri telah melaksanakan pengawasan berbasis digital Suptech Integrated Data Analytics (OSIDA), yaitu implementasi pengembangan Supervisory Technology (Suptech) yang mengotomasi analisis data laporan Industri Jasa Keuangan (IJK).
Ini bisa dimaksimalkan untuk menciptakan tata kelola yang baik dalam sektor inovasi teknologi sektor keuangan dan aset digital. Suptech memiliki fitur utama seperti, otomasi pelaporan data, analisis validitas data dan standarisasi laporan.
Ketiga, penyusunan Regulatory Technology (Regtech) dapat mendukung pelaku usaha ITSK untuk memastikan agar mematuhi terhadap peraturan terkait. Regtech dapat mendeteksi dan menganalisa apabila terdapat transaksi yang mencurigakan maupun melanggar ketentuan yang ada.
Penerapan ini tentu dapat menciptakan efisiensi juga memberikan dampak positif pada trade finance, transparansi, serta pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme (APPU-PPT). Dengan demikian, sektor keuangan akan semakin kuat pertumbuhannya.
Eksekusi dalam menjalankan langkah-langkah ini serta kerja sama dengan pihak lain secara global, merupakan upaya responsif yang sangat penting dalam menyikapi perkembangan aset digital khususnya kripto. Dengan begitu, aset kripto hadir sebagai berkah bukan musibah.