Bisnis.com, JAKARTA – OCBC Sekuritas Indonesia memprediksi Indeks harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak tumbuh hingga 12 persen menjadi 7.672 pada 2023 seiring dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,8 persen hingga 4,9 persen.
Head of Research OCBC Sekuritas Indonesia Budi Rustanto mengatakan prospek pasar saham ke depan masih akan bertumbuh seiring dengan pertumbuhan PDB Indonesia yang berada di angka 4,8 persen hingga 4,9 persen.
“Tumbuh 10 persen hingga 12 persen secara indeks dibandingkan tahun lalu,” katanya saat ditemui usai acara OCBC NISP Business Forum 2023: Post Pandemic Investing Decision – How Things Have Change, Selasa (21/3/2023).
Sementara itu, IHSG masih akan dipengaruhi oleh sentimen soal FOMC The Fed minggu ini yang diprediksi masih akan hawkish dengan estimasi 25 bps. Estimasi ini dipengaruhi oleh kasus bangkrutnya Silicon Valley Bank (SVB) yang menyebabkan The Fed semakin hati-hati karena keputusan kenaikan suku bunga akan berpengaruh pada sektor perbankan.
Situasi yang dapat menekan IHSG saat ini dapat dimanfaatkan investor untuk masuk ke pasar saham. Momentum koreksi merupakan jalur bagi investor untuk membeli saham dengan harga murah.
“Harga saham sudah sangat rendah, IHSG undervalue,” jelas Budi.
Baca Juga
Di tengah proyeksi IHSG tersebut terdapat satu sektor yang dipandang akan bullish yaitu komoditas. Akan tetapi hanya berlaku bagi emiten yang ada di komoditas emas dan nikel.
Komoditas emas dinilai masih akan meningkat ditengah pasar yang mulai beralih ke investasi safe haven ini. Kemudian, komoditas nikel juga diproyeksi akan semakin tumbuh seiring dengan mulai masifnya hilirisasi dan produksi kendaraan dan baterai listrik.
Budi memilih dua emiten yang menjadi andalan yaitu PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) dan PT Vale Indonesia Tbk. (INCO).
Sementara itu, menurut Budi, bullish tidak akan terjadi pada komoditas batu bara. Hal itu berkaitan dengan tergantikannya emas hitam itu dengan energi bersih.
“Hati-hati terhadap batu bara,” jelas Budi.
Selain berhati-hati dengan emiten batu bara, Budi juga menambahkan investor harus memperhatikan emiten yang memiliki liabilitas yang tinggi. Selain itu emiten yang memiliki beban impor juga perlu menjadi perhatian karena aka nada depresiasi yield dolar AS dan Rupiah.
“Tapi akan sangat baik bagi emiten yang berorientasi pada ekspor,” imbuhnya.