Bisnis.com, JAKARTA - Emiten telekomunikasi PT Indosat Tbk. (ISAT) atau Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) menyampaikan telah menyerap belanja modal atau capital expenditure (capex) sebesar Rp12 triliun pada 2022.
Manajemen Indosat dalam investor memo menuturkan pengeluaran belanja modal Indosat pada 2022 sebesar Rp12,01 triliun. Pengeluaran belanja modal ini tidak termasuk Rp10,02 triliun untuk aset hak guna.
Dari total pengeluaran belanja modal tersebut sekitar 93,3 persen digunakan untuk bisnis selular ISAT untuk mendukung permintaan layanan data.
"Sisanya dialokasikan pada pengeluaran modal untuk MIDI, infrastruktur, dan TI," ucap Manajemen ISAT, Senin (13/2/2023).
Sebagai informasi, jumlah serapan belanja modal ini lebih besar dibandingkan dengan rencana ISAT pada awal 2022, yang berencana mengalokasikan Rp10 triliun untuk belanja modal. Di awal tahun, ISAT berencana menggunakan belanja modal ini untuk integrasi jaringan, setelah merger menjadi IOH.
Adapun sepanjang 2022, ISAT membukukan pendapatan sebesar Rp46,75 triliun, meningkat 48,9 persen dibandingkan tahun 2021 yang sebesar Rp31 triliun. Layanan selular, MIDI, dan telekomunikasi tetap milik ISAT masing-masing memberikan kontribusi sebesar 86,1 persen, 12,2 persen, dan 1,7 persen terhadap pendapatan usaha konsolidasian yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2022.
Baca Juga
Rinciannya, pendapatan selular ISAT meningkat sebesar 58,4 persen dibandingkan tahun 2021, terutama disebabkan oleh peningkatan pendapatan data, jasa nilai tambah dan interkoneksi yang diimbangi penurunan pendapatan telepon, SMS, dan sewa menara.
Lalu, pendapatan MIDI meningkat sebesar 5,7 persen dibandingkan tahun 2021, disebabkan oleh peningkatan pendapatan layanan IT dan internet tetap. Sementara itu, pendapatan telekomunikasi tetap meningkat sebesar 36,3 persen dibandingkan tahun 2021, yang dikontribusikan oleh kenaikan pendapatan telepon internasional dan pendapatan jaringan tetap.
Meski pendapatan meningkat, ISAT membukukan penurunan laba bersih sebesar Rp4,72 triliun atau turun 30 persen dibandingkan tahun 2021 yang sebesar Rp6,75 triliun. Penurunan ini terutama disebabkan oleh peningkatan beban operasional, peningkatan beban depresiasi dan amortisasi, serta peningkatan biaya finansial, sebagai dampak dari penggabungan dua perusahaan, yang diimbangi oleh peningkatan pendapatan.