Bisnis.com, JAKARTA – Reli IHSG yang terjadi belakangan ini dipengaruhi oleh beberapa sentimen positif yang masuk ke pasar saham Indonesia, salah satunya prospek perbaikan ekonomi dan aliran modal asing. Saham milik konglomerat terpantau menjadi penopang indeks.
Investment Analyst Infovesta Utama Ekky Topan menerangkan reli IHSG kali ini memiliki kemungkinan untuk menyentuh level 8.000. Selepas target tersebut tercapai, Ekky memprediksi bahwa aksi profit taking kemungkinan besar akan terjadi.
"Menurut saya, setelah mengenai target psikologis 8.000, ada potensi profit taking dan koreksi," katanya saat dihubungi, Kamis (14/8/2025).
Adapun, penguatan IHSG saat ini lebih didorong karena investor asing yang kembali ke pasar saham Indonesia. Sayangnya, reli kali ini tidak mencerminkan kinerja fundamental yang membaik.
Investor asing kembali masuk ke Indonesia setelah pengumuman rebalancing MSCI yang terjadi beberapa waktu lalu. Selain itu, kinerja rupiah yang stabil dan mengalami penguatan hingga potensi pemangkasan suku bunga The Fed juga menambah daya tarik pasar Indonesia.
Senada, Head of Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia melihat reli IHSG yang terjadi saat ini lebih disebabkan oleh rebalancing MSCI beberapa waktu lalu. Namun, perbaikan kinerja IHSG secara jangka panjang akan lebih dipengaruhi oleh yield Treasury AS ke depannya.
Baca Juga
Liza menerangkan, selama ini, reli IHSG terjadi terutama didorong oleh saham-saham konglomerasi, selepas masuk dalam MSCI.
“Dengan masuknya perusahaan Indonesia seperti CUAN, PTRO kemarin, sangat disukai oleh funds karena perusahaan dengan market caps besar menyediakan liquidity,” tambahnya.
Kiwoom Sekuritas menargetkan IHSG secara konservatif pada level 7.500 dan 7.800 dengan sikap yang moderat. Meskipun target tersebut sudah tercapai, Kiwoom Sekuritas belum kembali merevisi targetnya. Salah satu alasannya, keputusan pemangkasan suku bunga The Fed masih berpotensi mengubah arah pasar saham Indonesia hingga akhir tahun 2025.
“Walaupun sekarang ini dana asing sudah mulai masuk, tapi tetap aja foreign net sell sepanjang tahun berjalan 2025 itu masih lebih dari Rp50 triliun. Kalau The Fed menurunkan suku bunga dan diikuti BI, kami akan lebih optimis di range 7.800–8.000,” kata Liza ketika dihubungi, Kamis (14/8/2025).
Analis MNC Sekuritas PIK Hijjah Marhama memberikan pandangan yang berbeda. Menurutnya, berbagai katalis positif telah menanti kinerja IHSG di sisa paruh kedua 2025.
Beberapa di antaranya seperti musim dividen interim saham-saham bluechip yang akan dibagikan pada Oktober–Desember 2025, dinilai bakal menjadi booster bagi saham-saham big caps dan blue chip. Selain itu, arah suku bunga yang cenderung terpangkas menjadi alasan lainnya.
Belum lagi, stimulus fiskal pemerintah di sektor properti untuk paruh kedua 2025 akan mulai terasa, serta perjanjian dagang AS-Indonesia yang dinilai mampu mendorong kinerja ekspor dan pertumbuhan fundamental sejumlah emiten.
"Selain itu, di kala IHSG bullish, masih ada beberapa sektor yang saya lihat bervaluasi rendah seperti properti valuasinya masih cukup murah, saham industrial seperti ASII dan UNTR juga masih murah," katanya.
Mengenai potensi profit taking, Rahma menilai bahwa hal tersebut adalah hal yang wajar. Namun, Rahma menyebut bahwa investor masih perlu melihat seberapa berpengaruh sentimen negatif tersebut untuk menekan IHSG.
Menurut Rahma, selama tidak ada ketegangan global yang kembali memuncak, IHSG masih akan mampu mempertahankan tren bullish-nya.
"Kalaupun ada koreksi, dengan melihat beberapa katalis pendukung, akan bersifat sementara. Selama tidak ada ketegangan global dan IHSG masih mampu mempertahankan tren bullish-nya," katanya.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.