Bisnis.com, JAKARTA — Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri 2022 dengan koreksi sebesar 0,14 persen ke 6.850,61 pada penutupan perdagangan 30 Desember 2022. Ini merupakan kali pertama dalam 21 tahun IHSG melemah pada Desember.
Terlepas dari pelemahan tersebut, analis menilai IHSG berpeluang berbalik menguat karena January Effect. Namun January Effect 2023 masih dibayangi oleh sejumlah sentimen global setelah tren kenaikan suku bunga mendominasi pasar sepanjang 2022.
Head of Investment Information Mirae Asset Sekuritas Roger MM mengatakan kenaikan suku bunga acuan The Fed sebanyak tujuh kali berturut-turut pada 2022 telah menimbulkan spekulasi soal risiko resesi. Hal itu bisa memukul performa berbagai sektor seperti teknologi yang selama 2022 bergerak negatif.
“January Effect 2023 masih akan dibayang-bayangi sentimen kenaikan suku bunga lanjutan dari The Fed yang diprediksi akan terjadi di Februari,” kata Roger pada Jumat pekan lalu (30/12/2022).
Secara historis, pergerakan IHSG pada Januari dalam 12 tahun terakhir didominasi oleh penguatan. Pada Januari 2022, IHSG menguat 0,75 persen, sementara pada 2020 dan 2021 masing-masing melemah 5,71 persen dan 1,95 persen.
Analis Phintraco Sekuritas Rio Febrian mengatakan peluang January Effect dapat diperhatikan oleh para investor. Pelemahan IHSG yang terjadi di Desember 2022 memberikan peluang bagi IHSG untuk rebound di Januari 2023.
“Secara sentimen, IHSG akan ditopang dari sektor ritel dan consumer non-cyclicals menyusul potensi peningkatan permintaan masyarakat terutama pada libur Hari Raya,” kata Rio.
Potensi kenaikan permintaan masyarakat diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dari kedua sektor tersebut. Hal ini terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang berada di level 119,1 di November 2022, lebih tinggi dari level optimistis yakni 100.
“Sentimen lainnya adalah ekspektasi pelaku pasar yang lebih positif di awal tahun akan pertumbuhan ekonomi yang lebih positif di 2023. Sehingga diharapkan dapat memberikan peluang January Effect,” kata Rio.