Bisnis.com, JAKARTA — Bisnis penawaran umum perdana saham (initial public offering /IPO) mengalami kontraksi kala resesi melanda pada 1998 dan 2008. Lalu bagaimana dengan 2023?
Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia I Gede Nyoman Yetna mengatakan pada 1997 penggalangan dana melalui penerbitan saham masih relatif baik. Saat itu terdapat 30 perusahaan yang menggalang dana dengan akumulasi kapital yang dihimpun sebesar Rp3,5 triliun.
“Selanjutnya pada 1998 jumlahnya menjadi 6 perusahaan atau turun tajam sekitar 80 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia ketika itu minus 13,13 persen,” kata Nyoman, Jumat (9/12/2022).
Turunnya jumlah perusahaan yang menghimpun dana di pasar modal merupakan cerminan dari efek krisis yang melanda Indonesia. Namun perlahan pada 1999, jumlah perusahaan yang menggalang dana bertambah menjadi 9 entitas.
Krisis subprime mortgage yang terjadi pada 2008 turut memberi tekanan berat pada pasar modal, terutama di Amerika Serikat yang kemudian merembet ke berbagai negara di dunia.
Meski demikian, BEI melaporkan terdapat penghimpunan dana oleh 18 perusahaan pada tahun tersebut, seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih berkisar 6 persen pada 2008. Total dana yang dihimpun di tahun itu mencapai Rp24 triliun.
Baca Juga
Nyoman mengatakan dampak Krisis 2008 mulai terasa pada 2009 ketika jumlah penggalangan dana turun menjadi hanya dari 13 perusahaan.
Menurutnya 2023 akan menjadi tahun yang penuh tantangan. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2023 akan melambat, dengan risiko koreksi yang dapat lebih rendah dan resesi yang tinggi pada beberapa negara, termasuk Amerika Serikat dan Eropa.
Namun Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 tetap bisa menyentuh proyeksi 4,5 persen sampai 5,3 persen.
Pertumbuhan ekonomi pada 2023 diperkirakan tetap tinggi didorong oleh permintaan domestik serta kinerja ekspor yang tetap positif di tengah risiko lebih dalamnya perlambatan perekonomian global.
“Kami menyambut baik perusahaan-perusahaan yang akan melakukan IPO, termasuk perusahaan BUMN dan afiliasinya. Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan Self-Regulatory Organization pasar modal Indonesia (BEI, KPEI, dan KSEI) senantiasa mendukung para pengusaha di Indonesia untuk dapat memanfaatkan pasar modal Indonesia sebagai sarana memperoleh pendanaan,” lanjut Nyoman.
Dia mengatakan keputusan IPO tentunya telah mempertimbangkan berbagai aspek. Waktu pelaksanaan yang tepat menjadi salah satu komponen penting dalam pengambilan keputusan. Bahkan saat pandemi Covid-19 menekan perekonomian global pada 2020, masih ada 51 perusahaan yang menghimpun dana di pasar modal dengan perolehan mencapai Rp5,6 triliun.
Adapun sampai dengan 9 Desember 2022, perusahaan yang menerbitkan dan mencatatkan saham di BEI telah meningkat 107 persen dibandingkan tahun 2021, yaitu dari 54 perusahaan menjadi 58 perusahaan. Pada sistem e-IPO juga masih terdapat 1 perusahaan yang sedang dalam proses penawaran umum.
Sejumlah perusahaan telah memantapkan langkah untuk menggalang dana publik melalui penawaran umum perdana saham (initial public offering /IPO) pada 2023, meski terdapat bayang-bayang perlambatan ekonomi dan resesi ekonomi global.
Beberapa perusahaan yang menyatakan intensinya untuk IPO adalah anak usaha BUMN. Wakil Menteri I BUMN Pahala N. Mansury belum lama ini menyebutkan bahwa terdapat empat perusahaan pelat merah yang akan melakukan IPO pada 2023.
Keempat perusahaan tersebut adalah PT Pertamina Geothermal Energy, PT Pertamina Hulu Energi, PT Pupuk Kalimantan Timur, dan Palm Co. Pahala mengatakan IPO ini merupakan upaya pemerintah mendukung ketahanan pangan dan energi di Indonesia.
Dalam pengembangan ketahanan energi melalui IPO PGE dan PHE, sedangkan ketahanan pangan diwakili oleh Pupuk Kaltim dan Palm Co.
Di tengah bayang-bayang perlambatan ekonomi global pada 2023, sejarah mencatat bahwa aksi penggalangan dana di bursa saham Indonesia pada masa krisis tetap berlangsung.