Bisnis.com, JAKARTA – Emiten tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) mengaku wacana kenaikan UMP sangat memberatkan produksi perseroan dengan kondisi global yang tidak baik. Sebagai emiten padat karya, analis justru menyebutkan hal tersebut akan menekan kinerja sahamnya.
Konglomerat sekaligus Presiden Direktur Sritex Iwan Setiawan Lukminto mengatakan jika hingga saat ini Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) belum menyetujui kenaikan UMP ini.
“Sebenarnya kenaikan tersebut bila diimplementasikan akan sangat berat dijalankan karena kondisi global yang jelek, dimana negara-negara importir mempunyai masalah dan efek perang Ukraina-Rusia yang berkepanjangan,” katanya melalui pesan teks, Kamis (24/11/2022).
SRIL juga mengklaim jika kenaikan UMP yang tinggi akan semakin menekan produksi, dimana Iwan menyebutkan jika produksi memang sudah terganggu sebelum kenaikan UMP.
“Karena produksi saat ini masih terganggu apalagi ditambah UMP yang tinggi. Misalnya banyak hasil export kita masih belum terbayar karena negara tujuan ekspor tersebut melakukan kontrol Devisa (mata uang USD sangat terbatas),” lanjut Iwan.
Meski demikian, SRIL berencana untuk terus menerapkan penambahan diversifikasi produk dan negara-negara exporter yang lain.
Baca Juga
Sebagai informasi, hingga September 2022, tujuan ekspor SRIL mencapai 21 negara yaitu Amerika Serikat, Argentina, Brazil, Republik Dominika, Mesir, Meksiko, Turki, Portugal, Polandia, India, Qatar, Uni Emirat Arab, Swedia, Bangladesh, Jepang, Korea Selatan, Spanyol, Malaysia, Thailand, dan Jordania.
Pengamat pasar modal yang juga Direktur Avere Investama Teguh Hidayat mengatakan jika UMP yang naik disebabkan oleh inflasi, dimana inflasi dan kenaikan UMP akan berbanding lurus. Namun demikian, APINDO kemungkinan akan menolak UMP tersebut.
“Industri padat karya sedang sangat terpukul. Kalau kemarin GOTO atau perusahaan teknologi melakukan PHK, itu dilakukan untuk efisiensi bukan karena bisnisnya turun,” kata Teguh saat dihubungi Bisnis, Kamis (24/11/2022).
Tapi kalau kita bicara tekstil dan rokok, lanjut Teguh, emiten rokok kemarin baru ada kebijakan kenaikan cukai sedangkan tekstil belum pulih sepenuhnya yaitu permintaan pasar dan mereka masih berusaha dengan kewajibannya untuk membayar utang.
“Jadi sebelum adanya kenaikan UMP ini, prospek emiten rokok dan tekstil memang kurang bagus. Kalau ini (kenaikan UMP) jadi maka makin tidak bagus lagi,” terangnya.
Teguh menjelaskan jika sebenarnya biaya emiten padat karya tidak hanya berasal dari tenaga kerja namun juga bahan baku. Harga bahan baku juga dipengaruhi oleh inflasi.
“Apalagi yang bahan impor dan rupiah melemah jadinya ya masuk akal ketika UMP naik akan ada efisiensi tenaga kerja dan untuk karyawan yang masih ada mereka akan kerja lebih keras lagi,” lanjutnya.
Menurut Teguh, bukan hanya emiten rokok dan tekstil saja yang akan berdampak, tetapi emiten ritel juga akan kena imbasnya. Namun, emiten ritel memiliki prospek yang lebih baik dibanding padat karya sebelum kenaikan UMP.
“Tapi kalau rokok dan tekstil dari awal kinerja saham mereka sudah jelek. Dengan adanya kenaikan UMP ini ya tambah susah memang. Untuk investor tidak disarankan untuk akumulasi saham di emiten ini. Setidaknya butuh satu tahun kedepan untuk penyesuaian kembali emiten-emiten ini,” imbuhnya.