Bisnis.com, JAKARTA — Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) menjadi sentimen yang cukup mengejutkan pasar obligasi.
Director & Chief Investment Officer, Fixed Income Manulife Aset Manajemen Indonesia, Ezra Nazula Ridha menjelaskan, meski berpengaruh secara negatif di pasar obligasi, kenaikan suku bunga BI sebesar 50 basis poin (bps) menjadi langkah forward looking yang tepat untuk menanggulangi inflasi ke depannya.
“Semakin cepat inflasi mencapai puncak dan melandai, semakin cepat juga investor dapat menemukan entry level yang sesuai dan pasar obligasi dapat lebih bergairah,” jelasnya saat dihubungi Bisnis, Senin (26/9/2022).
Dampak kenaikan suku bunga BI tersebut diharapkan hanya sementara, dengan kenaikan yield masih relatif terbatas kebanyakan di tenor pendek. Ezra melanjutkan, yield 10 tahun masih terjaga di bawah level 7,5 persen sehingga memberi harapan volatilitas yang lebih terbatas. Terlebih, dengan kebijakan BI menjalankan operation twist yang akan menjaga tenor panjang.
“Kenaikan suku bunga 50 bps diperkirakan juga dapat menjaga stabilitas nilai tukar yang sempat melemah setelah adanya kenaikan suku bunga The Fed sebesar 75 bps,” imbuhnya. Ke depannya, data inflasi atau tenaga kerja AS serta kebijakan moneter The Fed akan tetap menjadi fokus pasar.
Sebelumnya, Analis Obligasi Samuel Sekuritas Indonesia, Fikri C. Permana mengatakan investor khususnya individu akan relatif menghindari risiko dengan memilih instrumen risiko lebih rendah, salah satunya obligasi ritel seperti ORI.
Baca Juga
ORI022 yang baru saja diluncurkan hari ini memiliki sejumlah daya tarik tendensi risk-on pelaku pasar seiring dengan kemungkinan kenaikan suku bunga The Fed dan BI. “Kemudian, adanya literasi finansial masyarakat dan makin mudahnya obligasi ritel untuk dijangkau dapat meningkatkan appetite investor dalam negeri,” tutup Fikri.