Bisnis.com, JAKARTA – Pasar modal Indonesia dibayangi oleh tingginya ketidakpastian global akibat sejumlah sentimen seperti koreksi harga komoditas di pasar global, risiko resesi di Amerika Serikat, serta tren kenaikan suku bunga acuan sejumlah bank sentral.
Berdasarkan data Bloomberg, Senin (26/9/2022) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau merosot 0,71 persen ke level 7.127,50.
Sementara itu, imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN) Indonesia dengan tenor 10 tahun bertengger di level 7,43 persen, melemah dari posisi 7,2 persen jelang pengumuman suku bunga acuan BI pekan lalu.
Terkait hal tersebut, Investment Director Schroders Indonesia Irwanti menyebutkan prospek pasar saham dan obligasi Indonesia masih atraktif dalam beberapa waktu ke depan. Menurutnya, harga komoditas yang masih tinggi dan valuasi menarik masih membuat Indonesia menarik di mata investor asing.
“Emiten-emiten Indonesia pun masih menunjukan pemulihan kinerja pasca pandemi sehingga dapat menopang pasar saham di tahun ini,” jelasnya saat dihubungi, Senin (26/9/2022).
Sementara itu, tingkat kepemilikan asing di pasar SUN juga telah berada di level terendah sejak tahun 2010 yakni pada kisaran 15 persen dibandingkan level sebelum pandemi virus Corona pada 40 persen.
Sehingga, Schroders Indonesia memandang downside di pasar obligasi mulai menipis dengan dana asing yang sudah keluar cukup banyak secara year to date (ytd).
Di sisi lain, Bank Indonesia juga turut menopang obligasi tenor panjang ditengah kenaikan suku bunga acuan. Tetapi, karena isu inflasi dan kenaikan suku bunga, Irwanti menilai reli berkelanjutan di pasar obligasi masih akan sulit pada tahun ini.
Irwanti melanjutkan, pihaknya terus mempercayai bahwa investasi adalah pilihan yang tepat apalagi di tengah kenaikan inflasi. Secara jangka panjang, investasi khususnya di pasar modal dapat mengalahkan inflasi.
Seiring dengan hal tersebut, Irwanti mengingatkan investor untuk tetap menyesuaikan instrumen investasi mereka sesuai toleransi risikonya. Pada kondisi pasar saat ini, Schroders menilai kelas aset saham masih menjadi pilihan untuk memberikan potensi return yang menarik, meski risikonya memang lebih tinggi
“Investor yang lebih defensif dapat melirik reksa dana campuran di mana terdapat unsur saham dan obligasi. Adapun, investor yang sangat konservatif dapat melirik reksa dana pasar uang,” ujarnya.