Bisnis.com, JAKARTA – Instrumen berisiko seperti saham, obligasi, dan reksa dana turunannya masih dapat menjadi opsi bagi investor di tengah volatilitas pasar saat ini.
Direktur Batavia Prosperindo Aset Manajemen (BPAM) Eri Kusnadi menjelaskan pelemahan di pasar modal Indonesia saat ini lebih disebabkan oleh guncangan pada pasar global seiring dengan target kenaikan suku bunga di AS yang terus lebih tinggi dari asumsi sebelumnya.
Selain itu tekanan pada pasar obligasi Indonesia juga datang dari kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) pada pekan lalu. Tren kenaikan suku bunga BI juga diprediksi masih berlanjut hingga akhir tahun ini.
Di sisi lain, Eri mengatakan kondisi dalam negeri masih cukup mendukung dan kondusif. Hal tersebut dapat dilihat dari rilis data perekonomian dan pertumbuhan cukup baik. Kemudian, pasokan dolar AS dari komoditas juga terpantau optimal.
“Hal ini membuat penurunan obligasi dan saham sebenernya cukup terbatas dan masih dalam tingkatan wajar,” jelas Eri saat dihubungi, Senin (26/9/2022).
Ke depannya, Eri menuturkan investasi pada aset berisiko tinggi seperti saham, obligasi dan reksa dana terkait masih dapat dilakukan selama sesuai dengan profil risiko dan dalam jangka waktu yang sesuai.
Menurutnya, investor perlu mencermati sentimen – sentimen seperti rilis data ekonomi domestik seperti laporan keuangan emiten dan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III/2022 mendatang.
“Baik pasar saham maupun obligasi apabila ada koreksi dapat dilakukan investasi secara bertahap atau dollar cost averaging,” paparnya.
Adapun, instrumen – instrumen berisiko rendah juga dapat menjadi opsi bagi para investor. Eri menuturkan, reksa dana pasar uang tetap dapat di investasikan dengan cukup stabil kedepannya.
Selanjutnya, obligasi negara ritel juga dinilai masih menarik dengan tingkat kupon yang cukup tinggi. Meski demikian, ia menyarankan sebaiknya investor dapat memegangnya hingga jatuh tempo. Sebagai informasi, saat ini pemerintah tengah membuka pemesanan obligasi negara ritel seri ORI022.
“Investor juga masih perlu mewaspadai volatilitas dalam periode 12 bulan ke depan,” pungkasnya.