Bisnis.com, JAKARTA – Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan terus berlanjut jika Bank Indonesia menahan kenaikkan suku bunga acuannya.
Sekadar informasi, pada perdagangan terakhir, Jumat (19/8/2022), rupiah ditutup melemah 0,01 persen atau 1,5 poin ke Rp14.838 per dolar AS. Adapun, IHSG tercatat melemah 0,20 persen ke 7.172,43.
Macro Equity Strategist Samuel Sekuritas Indonesia Lionel Priyadi mengatakan dari sisi ekternal, pasar saham dan obligasi di Amerika Serikat cenderung flat pada Kamis (18/6/2022) akibat risalah rapat Federal Open Market Committee (FOMC) yang ambigu.
Sementara itu, indeks dolar AS pada Jumat (19/8/2022) menguat 0,58 persen menjadi 108,10, didorong oleh meningkatnya kecemasan atas kebijakan hawkish sejumlah bank sentral Eropa. Bank Sentral Norwegia, misalnya, menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bps menjadi 1,75 persen untuk kedua kalinya secara berturut-turut guna menekan inflasi.
“Penguatan indeks dolar akan terus menekan rupiah, yang melanjutkan pelemahan 0,1 persen menjadi Rp14,838 per dolar AS. Kami memperkirakan depresiasi rupiah akan terus berlanjut, menyusul pernyataan dari Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo yang menyatakan posisinya untuk mempertahankan suku bunga acuan di 3,5 persen bulan ini,” kata Lionel dalam riset, dikutip Minggu (21/8/2022).
Menurut Samuel Sekuritas, BI menghadapi risiko yang lebih besar dan berpotensi tertinggal makin jauh, terutama jika mempertimbangkan keputusan bank sentral lain di Asia Tenggara yang telah memulai siklus kenaikan suku bunga.
Baca Juga
Sementara itu, IHSG juga melemah setelah hari sebelumnya sempat mengungguli indeks saham lain di regional, didorong oleh beli bersih asing sebesar Rp1,2 triliun di pasar reguler atau Rp1,1 triliun secara keseluruhan.
Kenaikan ini mengindikasikan optimisme investor asing terkait kecilnya kemungkinan kenaikan harga BBM bersubsidi.
“Mereka tampaknya menilai pemerintah masih memiliki ruang fiskal yang cukup untuk menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp100- Rp200 triliun dari anggaran saat ini Rp502 triliun,” ungkap Lionel.
Keyakinan investor asing juga didasarkan pada kinerja pendapatan fiskal Indonesia pada Juli, di mana pemerintah mencatat peningkatan 50 persen dalam penerimaan negara sampai dengan Juli 2022, terutama didorong oleh lonjakan harga komoditas.
“Kami rasa pandangan ini terlalu optimis, mengingat anggaran subsidi dan kompensasi energi tahun depan turun 27 persen, lebih kecil dibanding tahun ini, serta asumsi harga minyak yang cenderung rendah di US$90 per barel,” imbuhnya.
Lionel mengatakan, mengingat aturan UU No 2/2020 tentang defisit anggaran tahun depan, di bawah -3 persen PDB, hanya ada sedikit ruang fiskal untuk terus menjaga harga BBM bersubsidi di level saat ini tahun depan.
“Karena itu, menurut kami, kenaikan harga BBM bersubsidi tahun ini tidak dapat dihindari, kecuali pemerintah berani mengambil risiko melanggar target defisit anggaran tahun depan,” ujarnya.