Bisnis.com, JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali ditutup melemah pada akhir pekan Jumat (19/8/2022), sejalan dengan mayoritas mata uang lain di kawasan Asia yang ditutup di zona merah.
Berdasarkan data Bloomberg, mata uang Garuda ditutup melemah tipis 0,01 persen atau turun 1,5 poin sehingga berada di posisi Rp14.838 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar AS, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama, pada pukul 15.05 WIB terpantau menguat 0,18 persen atau 0,197 poin ke level 107.612.
Sejumlah mata uang lain di kawasan Asia terpantau turut melemah, dipimpin oleh yen Jepang yang melemah 0,56 persen terhadap dolar AS, kemudian disusul won Korea Selatan yang melemah 0,42 persen.
Yuan China juga terpantau melemah terhadap dolar AS dengan koreksi 0,38 persen. Begitu pula rupee India melemah 0,12 persen dan dolar Singapura sebesar 0,14 persen.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi dalam riset hariannya, Kamis (18/8/2022), telah memperkirakan rupiah akan ditutup melemah di rentang Rp14.820-Rp14.870 per dolar AS pada perdagangan hari ini.
Penguatan dolar AS berlanjut setelah risalah pertemuan The Fed menunjukkan bahwa Bank Sentral AS bisa saja menaikkan suku bunga lebih jauh untuk mengendalikan inflasi.
“Banyak peserta mencatat risiko bahwa The Fed dapat memperketat sikap kebijakan lebih dari yang diperlukan untuk memulihkan stabilitas harga,” tulis Ibrahim.
Besarnya ekspektasi kenaikan suku bunga Fed selanjutnya akan bergantung pada inflasi harga konsumen dan data pekerjaan Agustus 2022. Data-data tersebut akan dirilis sebelum pertemuan The Fed pada September 2022.
Peluang kenaikan suku bunga The Fed sebesar 75 basis poin pada September turun menjadi 40 persen persen setelah risalah rapat, dari sebelumnya 52 persen. Sementara peluang kenaikan 50 basis poin naik menjadi 60 persen.
Di sisi lain, kondisi keuangan yang lebih longgar karena benchmark imbal hasil treasury AS tenor 10 tahun bertahan di bawah 3 persen dan membaiknya pasar kredit dan saham juga meningkatkan spekulasi bahwa The Fed mungkin perlu lebih agresif dalam menaikkan suku bunga.
Sementara itu dari dalam negeri, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi pada 2023 mencapai 5,3 persen, meski perekonomian dunia dihantui krisis. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2023, belanja negara diproyeksikan sebesar Rp3.041,7 triliun dan pendapatan negara diproyeksikan sebesar Rp2.443,6 triliun.
“Dengan demikian, defisit APBN diproyeksikan mencapai 2,58 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pemerintah mulai melakukan normalisasi dengan menetapkan target defisit kembali ke level prapandemi Covid-19, yakni di bawah 3 persen,” kata Ibrahim.