Bisnis.com, JAKARTA - Keputusan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) menetapkan nilai nominal saham sebesar Rp1 per saham sebelum IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada April lalu masih menjadi sorotan sejumlah kalangan.
Para pihak tersebut beranggapan, dengan nilai nominal saham sebesar itu investor lama GoTo memiliki potensi keuntungan besar karena membeli saham dengan harga super murah.
Pengamat Pasar Modal Fendi Susiyanto mengatakan banyak terjadi misperception terkait dengan modal disetor yang dijadikan sebagai acuan investor dalam melakukan pembelian atau akuisisi suatu perusahaan.
Ia mencontohkan investasi Telkomsel ke GoTo senilai Rp6,4 triliun yang ekuivalen dengan kepemilikan 89.125 lembar saham sebelum stock split (2,7 persen).
“Banyak yang menilai kok bisa modal disetornya GoTo hanya sebesar Rp800,69 miliar, sementara nilai perusahaan sudah menggelembung menjadi Rp231 triliun (288 kali dari nilai modal disetornya). Padahal faktanya, total modal GoTo sebelum IPO itu sudah mencapai Rp139,02 triliun (31 desember 2021). Memahami modal perusahaan harus menyeluruh, jangan sepotong-sepotong,” jelasnya, Kamis (14/7/2022).
Ia menilai, berdasarkan laporan keuangan GoTo tahun 2021, total modal GoTo sebesar Rp139,02 triliun. Modal tersebut terbentuk dari sejumlah instrumen seperti modal disetor Rp1,14 triliun, tambahan modal disetor (additional paid in capital) Rp225,85 triliun, saham tresuri (Rp7,19 triliun), cadangan kompensasi berbasis saham Rp6,94 triliun.
Baca Juga
Instrumen modal lainnya adalah akumulasi rugi (Rp79,12 triliun), selisih kurs translasi laporan keuangan dalam mat uang asing (Rp55,31 miliar) transaksi dengan kepentingan non pengendali (Rp7,22 triliun) dan kepentingan non pengendali (Rp1,29 triliun).
“Modal dasar dapat didefinisikan sebagai seluruh nilai nominal saham perseroan yang disebut dalam anggaran dasar perusahaan, dan modal dasar perseroan pada prinsipnya merupakan total jumlah saham yang dapat diterbitkan oleh perseroan terbatas. Anggaran dasar sendiri yang menentukan berapa jumlah saham yang dijadikan modal dasar,” jelasnya.
Menurut Fendi, modal disetor (paid in capital) adalah saham yang telah dibayar penuh oleh pemegang atau pemiliknya. Modal disetor minimal 25 persen dari modal dasar harus ditempatkan dan disetor penuh yang dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah.
Dari definsi ini jelas sekali bahwa modal disetor adalah yang tercatat di akta perusahaan dan bukan sebagai nilai wajar perusahaan.
Ia mencontohkan, pada tahun 2021, modal disetor GoTo hanya senilai Rp1,14 triliun atau sebanyak 1,14 triliun lembar saham dengan harga nominal Rp1 per saham. Tambahan modal disetor adalah selisih harga beli saham perusahaan dengan harga nominalnya.
Jadi jika ada perusahaan A membeli saham GoTo pada harga Rp300 per saham sebanyak 1.000.000 lembar, maka akan dicatatkan pada neraca GoTo sebagai berikut.
Pertama, modal disetor Rp1 x 1.000.000 lembar saham setara dengan Rp1.000.000, dan kedua, tambahan modal disetor (Rp300 - Rp1) x 1.000.000 lembar saham = Rp299.000.000. Jadi nilai Rp299 juta bukanlah berarti nilai beli Rp1 juta sudah menjadi 299 kali lipatnya, tapi keduanya adalah merupakan harga beli investor untuk memiliki 1 juta lembar saham GoTo.
“Sekali lagi, kita mesti fair dan jujur ketika mengungkapkan data-data perusahaan publik ke masyarakat. Semua data itu dipublikasikan di bursa dan tentunya setiap keputusan perusahaan yang akan IPO seperti GoTo sudah melewati fase berjenjang dan mendapat persetujuan dari OJK. Semua ada aturannya dan itu wajar-wajar saja,” kata Fendi.
Bursa Efek Indonesia tidak mengatur berapa nilai nominal saham perusahaan yang akan listed, tetapi hanya mengatur minimal harga saham saat IPO untuk emiten tersebut disesuaikan dengan papannya.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Usaha (LKPU) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Ditha Wiradiputra menilai masuknya Telkomsel di GoTo justru sudah tepat. Banyak perusahaan besar justru berlomba-lomba menanamkan modalnya di GoTo, seperti raksasa teknologi Google, Alibaba, dan lainnya.
“Jadi Telkomsel masuk ke situ bukan karena khilaf atau apa, tapi sudah dalam perencanaan dan untuk menunjang bisnis dia ke depan,” ujarnya.
Dhita juga tidak habis pikir investasi Telkomsel di GoTo sampai masuk ke ranah DPR sekalipun investasi tersebut akan menjadi pundi-pundi pendapatan bagi Telkomsel.
“Coba Anda bayangkan, Facebook tetap membeli WhatsApp dengan nilai ratusan triliun meskipun dia tahu potensi pendapatan dari WhatsApp tidak ada. Nah ini, investasi Telkomsel yang jelas-jelas menghasilkan kok dipersoalkan,” katanya.
Begitu pun dengan Amazon yang oleh investornya diperbolehkan merugi dalam kurun waktu tertentu dalam membangun bisnisnya. Hal itu lantaran bisnis model perusahaan digital memerlukan waktu untuk tumbuh.
“Di awal dia pasti akan mempelajari dan mengoleksi data-data terlebih dahulu, dan itu bisa menjadi market power. Data itu sekarang memegang peranan besar,” tuturnya.