Bisnis.com, JAKARTA – Bursa Asia bersiap menyambut deretan emiten dengan dana penawaran umum perdana (IPO) dalam jumlah besar sepanjang semester II/2022.
Selama semester I/2022, penjualan saham secara global mengalami tren penurunan mencapai 70 persen jika dibandingkan tahun lalu.
Mengutip Bloomberg, Kamis (7/7/2022) reli saham China dan Hong Kong cenderung prospektif di semester kedua ini. Karenanya, ada beberapa saham yang akan listing di paruh kedua tahun ini.
Salah satunya Syngenta Group, yakni perusahaan pupuk dan benih milik China National Chemical Corp. Perseroan dikabarkan mengincar permodalan dari IPO senilai US$9,7 miliar, menempatkannya di posisi kedua terbesar setelah LG Energy Solution dari Korea Selatan yang meraih US$10,7 miliar dari IPO pada Januari 2022.
Selanjutnya, ada startup asal India, OfBusiness (OFB Tech), yang dikabarkan berencana melakukan IPO dengan target dana US$2 miliar. Perusahaan ini bergerak di bidang platform berbasis teknologi untuk pengadaan bahan baku usaha kecil dan menengah di sektor manufaktur dan infrastruktur.
Ketiga, ada perusahaan bir asal Thailand, yaitu BeerCo, yang telah tiga kali mencoba go public di bursa Singapura. Pihak BeerCo sedang mengukur permintaan investor untuk memperoleh dana IPO di kisaran US$800 juta hingga US$1 miliar.
Baca Juga
Ada pula bank digital asal Korea Selatan, K Bank, berencana IPO di pasar domestik dan menargetkan dana senilai US$1 miliar. Dikabarkan, pasar saham Korea Selatan menjadi bursa dengan kinerja terburuk tahun ini dibandingkan pasar Asia lainnya.
Berikutnya, ada Rakuten Bank yang dikabarkan telah mengajukan IPO US$1 miliar di pasar modal Tokyo, disusul Ant Group Co yang akan melamar bursa Shanghai dengan kepulan dana sekitar US$2 miliar hingga US$3 miliar.
Data Dealogic menyebutkan adanya penurunan aktivitas penawaran umum perdana di bursa Asia-Pasifik pada kuartal II/2022. Sejauh ini, hanya ada 365 emiten yang listing di bursa Asia, merosot 31 persen dibandingkan 2021.
Hong Kong Capital Markets Services Partner for PwC, Eddie Wong mengatakan, ketidakpastian pasar telah membuat banyak perusahaan dilanda keraguan.
Lesunya pasar modal diperkirakan akibat adanya gejolak konflik geopolitik Rusia-Ukraina, wabah Covid-19 baru, meningkatnya inflasi, serta kebijakan pengetatan moneter.