Bisnis.com, JAKARTA — Manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. ditantang untuk bekerja lebih keras lagi guna merealisasikan isi dari rencana bisnis jangka panjang 2030 yang tertuang dalam proposal perdamaian, agar burung besi pelat merah ini tetap mengangkasa.
Emiten dengan kode saham GIAA ini memang berhasil lolos dari jerat penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) setelah mayoritas kreditur perseroan menerima dan menyetujui proposal pengesahan perdamaian.
Meski begitu, perusahaan kini memasuki babak baru untuk membuktikan diri mampu memenuhi skema restrukturisasi utang yang ditawarkannya kepada para kreditur.
Di sisi lain, perseroan juga mesti mampu kembali berlari kencang mengejar ketertinggalannya selama periode berat pandemi selama ini. Perusahaan harus segera kembali untung dan memulihkan neraca keuangannya. Tantangan ini sama sekali tidak mudah.
Jika strategi bisnis yang dijalankan Garuda kembali gagal menghasilkan performa yang optimal atau bahkan luar biasa, sangat mungkin perusahaan ini bakal tergelincir lagi pada kesalahan yang sama dan membuat proses pemulihan bisnisnya menjadi tak kunjung berakhir.
Ulasan tentang momentum pembuktian Garuda Indonesia usai lolos dari pailit menjadi salah satu pilihan Bisnisindonesia.id, selain beragam kabar ekonomi dan bisnis yang dikemas secara mendalam dan analitik tersaji dari meja redaksi Bisnisindonesia.id.
Berikut intisari dari top 5 News Bisnisindonesia.id yang menjadi pilihan editor, Minggu (19/6/2022):
1. The Fed Naikkan Suku Bunga, Laju Kredit Korporasi Tak Terganggu
Keputusan bank sentral Amerika Serikat the Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga acuan dengan sangat agresif bulan ini, yakni mencapai 75 bps sekaligus, bakal memaksa Bank Indonesia untuk mulai menaikkan juga bunga acuannya.
Namun, kondisi tersebut diyakini tidak akan sampai menurunkan tingkat permintaan kredit korporasi.
Kredit korporasi merupakan salah satu segmen kredit yang cukup rentan terganggu ketika laju ekonomi tersendat. Jika Bank Indonesia akhirnya memutuskan untuk mengikuti langkah the Fed menaikkan suku bunga acuan, tentu bunga kredit korporasi pun akan ikut meningkat. Kondisi ini mungkin menyebabkan kalangan korporasi kesulitan untuk mengakses kredit lebih murah.
Meski begitu, saat ini kondisi ekonomi Indonesia sejatinya sedang berada di jalur pemulihan. Kendati kini ada hambatan dari sisi kenaikan inflasi, Indonesia masih sedang diuntungkan oleh kenaikan harga komoditas yang memicu kenaikan ekspor hingga mencapai rekor.
2. Menagih Janji Pemerintah Memperbaiki Iklim Investasi Migas
Peran energi fosil Indonesia baik minyak maupun gas bumi diyakini masih tetap tinggi meskipun desakan transisi energi bersih yang lebih ramah lingkungan terus digaungkan.
Hingga puluhan tahun mendatang, peran migas bahkan sangat vital dalam memenuhi kebutuhan energi nasional.
Itu sebabnya, pemerintah dituntut untuk lebih serius lagi meningkatkan daya saing investasi di dalam negeri. Apalagi, kontribusi industri migas terbukti berdampak langsung terhadap perekonomian Indonesia terutama di tengah lonjakan harga minyak dunia telah memberikan keuntungan kepada negara, baik dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) maupun pajak pendapatan.
Sejalan dengan itu, pemerintah juga mempunyai target besar lifting minyak bumi menjadi 1 barel per hari (bop) dan lifting gas menjadi 12 miliar standar kaki kubik per hari (Bcfd) pada 2030.
Mau tidak mau, produksi harus terus ditingkatkan mengingat investasi kian turun karena selain dihadapkan pada isu transisi energi, Indonesia juga harus bersaing dengan negara lain untuk menangkap peluang investasi migas.
3. Momentum Pembuktian Diri Garuda Indonesia Usai Lolos dari Pailit
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. boleh bernapas lega untuk sejenak setelah mayoritas kreditur perseroan menerima dan menyetujui proposal pengesahan perdamaian dalam proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Namun, badai sama sekali belum berakhir.
Selama proses PKPU berlangsung, Garuda tengah memaksimalkan komunikasi intensif dengan para pemangku kepentingan, terutama para kreditur dan termasuk lessor, hingga akhirnya berhasil untuk menetapkan Daftar Piutang Tetap (DPT).
Garuda memaparkan jumlah tagihan yang diakui dalam DPT mencapai Rp142,21 triliun. Berdasarkan situs resmi PKPU Garuda, nilai tagihan tersebut tersebar baik untuk kreditur lessor, non-lessor, maupun kreditur preferen.
4. Menilik Kegelisahan Pengembang Rencana Merger UUS BTN Dengan BSI
Beberapa pekan terakhir, situasi 'panas' tengah menghampiri dunia properti. Pengembang tengah gelisah terkait nasib penyaluran kredit syariah rumah subsidi nantinya.
Rencana penggabungan Unit Usaha Syariah (UUS) PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) dengan PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Tbk (BRIS) menuai penolakan di kalangan pengembang properti.
Tahun lalu, BRIS menyalurkan pembiayaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) mencapai Rp5,8 triliun dengan total penjualan lebih dari 48.114 unit rumah yang tersebar di area Aceh, Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Banjarmasin, dan Makassar.
BBTN berhasil menyalurkan FLPP sebanyak sebanyak 117.699 unit dengan nilai kredit Rp17,15 triliun di sepanjang 2021. Angka tersebut merupakan perolehan dari BTN konvensional sebanyak 96.487 unit dengan nilai Rp14,11 triliun dan UUS BTN (BTN Syariah) sebanyak 21.212 unit dengan nilai Rp3,03 triliun.
Hingga 17 Juni 2022, data dari BP Tapera memaparkan penyaluran KPR bersubsidi dengan skema FLPP mencapai 86.325 unit dengan nilai Rp9,59 triliun. Adapun BTN berhasil porsi terbesar yakni 56 persen dalam menyalurkan FLPP sebanyak 48.336 unit dengan nilai Rp5,37 trilun.
Posisi kedua dikuasai oleh BTN Syariah yang mencapai 11,29% dengan menyalurkan FLPP sebanyak 9.745 unit dengan nilai Rp1,06 triliun. Sementara BSI menempati urutan keenam setelah BJB dengan market share 3,21 persen untuk penyaluran FLPP sebanyak 2.773 unit dengan nilai Rp302,9 miliar.
5. Gerak Lincah Grup Astra Berburu Sektor Baru Potensial
Tekanan yang masih terus terjadi di industri otomotif, terutama sejak pandemi Covid-19 terjadi, memaksa konglomerasi bisnis Grup Astra melalui induknya yakni PT Astra International Tbk. untuk mulai menjajaki peluang bisnis yang lebih luas lagi di luar otomotif.
Selama ini, grup usaha ini sudah terkenal sebagai grup terbesara di Indnesia dengan diversifikasi bisnis yang sangat kompleks, mulai dari otomotif, keuangan, alat berat, perkebunan, pertambangan, infrastruktur, logistik, properti, hingga teknologi informasi.
Namun, hingga kini segmen otomotif memang masih menjadi kontributor terbesar pendapatan dan laba Astra. Tampaknya, belum puas dengan diversifikasi yang telah berjalan, grup ini masih terus menjajaki peluang bisnis baru di sektor-sektor lain.
Penjualan mobil emiten otomotif Astra International mengalami penurunan pada Mei 2022 dibandingkan dengan tahun sebelumnya.