Bisnis.com, JAKARTA - Indeks harga saham gabungan (IHSG) tertekan di tengah kekhawatiran pasar terhadap kenaikan suku bunga The Fed dalam FOMC Meeting pekan ini. Bahkan, The Fed diperkirakan bisa mengerek suku bunga hingga 75 bps, lebih tinggi dari estimasi 50 bps.
Pukul 10.57 WIB, IHSG turun 1,07 persen atau 75,25 poin menjadi 6.974,63. IHSG sempat naik ke posisi tertinggi di 7.086,38 dan terendah 6.968,62.
Terdapat 127 saham menguat, sementara 405 saham melemah, dan 133 saham bergerak di tempat. Investor asing tercatat membukukan aksi net foreign sell Rp362,56 miliar.
Direktur MNC Asset Management Edwin Sebayang memperkirakan IHSG bakal kembali ke zona merah seiring sejumlah sentimen negatif yang menaungi perdagangan.
Dia menyebutkan indeks DJIA turun tajam selama 4 hari berturut-turut sebesar 2663.4 poin atau 8,27 persen dan dalam perdagangan Selasa (14/6/2022) kembali terkoreksi sebesar 151.91 poin atau 0,5 persen.
Dengan demikian, selama 5 hari Indeks DJIA turun tajam sebesar 2815,3 poin 8,77 persen mengantisipasi naiknya Fed Fund Rate (FFR) sebesar 75 bps yang akan diumumkan pada 15 Juni 2022 sebagai respons naiknya inflasi tertinggi selama 41 tahun terakhir.
Baca Juga
"Tingginya inflasi AS dan akan agresifnya The Fed menaikkan FFR bukan hanya berdampak atas tajamnya kejatuhan Indeks DJIA tetapi juga berdampak atas naiknya yield obligasi AS segala tenor khususnya tenor 10 tahun yang saat ini sudah mendekati level 3,5 persen yang tentunya juga berdampak atas turunnya harga obligasi Indonesia sebagai dampak dari naiknya yield obligasi Indonesia yang sudah mencapai 7,53 persen untuk tenor 10 tahun," paparnya, Rabu (15/6/2022).
Menurutnya, jika kejatuhan tajam Indeks DJIA dan naiknya yield obligasi AS dikombinasikan dengan berlanjutnya kejatuhan harga beberapa komoditas seperti minyak, batu bara, emas, nikel, dan timah bakal menjadi sentimen negatif bagi IHSG.
Selain itu, penurunan nilai tukar rupiah atas dollar AS juga terus terjadi bersamaan dengan penantian pengumuman reshuffle kabinet berpotensi menjadi sentimen negatif bagi perdagangan Rabu ini.
Analis NH Korindo Sekuritas Indonesia Dimas Pratama menyampaikan inflasi level produsen (IPP) AS kembali naik, melengkapi inflasi tinggi konsumen CPI Mei (1,0 persen MoM; 8,6 persen YoY). Data menunjukkan PPI Final Demand AS Mei catatkan inflasi 0,8 persen MoM (April 0,4 persen MoM) dan 10,8 persen YoY (April 10,9 persen YoY), seiring kenaikan harga sejumlah bahan bakar untuk proses produksi.
Kombinasi PPI dan CPI tinggi dapat memaksa the Fed menaikkan FFR Juni sebesar 75 bps, lebih tinggi dari proyeksi konsensus 50 bps. Adapun, FOMC Meeting akan berlangsung pada 14-15 Juni 2022 waktu setempat.
Bursa saham Wall Street ditutup mixed dengan yield tenor pendek UST2Y, yang lebih sensitif pada kenaikan FFR, menyentuh level 3,45 persen atau yield tertinggi sejak tahun 2007.
Dari dalam negeri, neraca dagang diproyeksikan hanya surplus US$3,5 miliar dari April senilai US$7,6 miliar, seiring larangan ekspor CPO periode tersebut. Hal ini tercermin dari cadangan devisa Mei senilai US$135,6 miliar, penurunan tiga bulan berturut-turut.
Penurunan Cadev membatasi ruang gerak BI, di tengah depresiasi rupiah yang sempat menyentuh level Rp14.700 per dolar AS. Depresiasi rupiah membuat barang impor lebih mahal, memberikan dampak kenaikan harga barang konsumsi, yang kemudian menambah tekanan pada inflasi domestik.
"IHSG masih berpotensi bergerak naik hari ini, dengan kisaran 6.950-7.150," paparnya dalam publikasi riset.
Pada Selasa (14/6/2022) kemarin, IHSG berhasil berbalik menguat 0,78 persen atau 54,44 poin dan akhirnya parkir ke level 7.049,88.