Bisnis.com, JAKARTA — Kegaduhan yang terjadi pada investasi Telkomsel di GoTo dinilai lebih banyak nuansa politis dibandingkan bisnis. Untuk itu, OJK didorong untuk mempertegas aturan business judgment rule.
Nailul Huda, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan bahwa jika dilihat secara keseluruhan investasi yang dilakukan Telkomsel di GoTo merupakan keputusan bisnis biasa yang dilakukan sebuah korporasi ke perusahaan digital.
Jika ingin dikaitkan dengan konflik kepentingan, menurut Nailul, semua investasi perusahaan BUMN dapat dikaitkan dengan konflik kepentingan. Namun, saat ini konflik kepentingan tersebut hanya dikaitkan Telkomsel dengan GoTo.
Investasi di GoTo juga bukan hanya perusahaan BUMN, tetapi juga ada perusahaan swasta nasional dan venture capital multinasional.
"Sejatinya kegaduhan dalam investasi Telkomsel di GoTo lebih banyak memiliki tujuan untuk menggoyang manajemen Telkom,” katanya dalam keterangan pers, Selasa (14/6/2022).
Nailul menuturkan seperti perusahaan telekomunikasi lainnya, Telkom dan Telkomsel memiliki kepentingan berinvestasi di perusahaan digital. Pasalnya, bisnis perusahaan telekomunikasi saat ini berkaitan erat dengan ekonomi digital sehingga investasi tersebut dapat saling melengkapi.
Baca Juga
Dia melanjutkan potensi ekonomi digital di Indonesia sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari tingginya minat investor untuk masuk ke sektor digital di Tanah Air. SingTel Group bahkan juga tengah masuk ke bank digital di Indonesia.
"Karena hanya melihat dari sisi ekonominya saja maka saya masih melihat keputusan investasi yang dilakukan Telkomsel di GoTo murni bisnis. Bahkan sinergi bisnis bisa dioptimalkan dengan masuknya Telkomsel di GoTo,” tambahnya.
Nailul menuturkan investasi Telkomsel di GoTo juga melalui pengawasan SingTel sebagai salah satu pemegang saham Telkomsel. Dengan kata lain, proses Good Corporate Governance (GCG) dan risk management sudah dijalankan dengan baik.
Terkait laporan keuangan yang dinilai beberapa pihak merugikan Telkom sebagai BUMN, menurut Nailul, sebagai bentuk kurangnya pemahaman terkait pasar modal dan metode akuntansi pencatatan.
Menurutnya yang dicatatkan Telkom di laporan keuangan masih berupa potensial. Selama saham GoTo yang dipegang oleh Telkomsel masih belum dijual, belum bisa dikatakan sebagai untung atau rugi.
Pasalnya, metode pencatatan laporan keuangan harus menggunakan marked to market harga terakhir di bursa. Jika menggunakan acuan harga saham saat ini, tentunya ada potential gain buat Telkom Group.
Investasi Telkomsel di GoTo, katanya, pada level harga Rp 270 dan jika menggunakan harga sekarang Telkom berpotensi untung.
“Sehingga potensi naik atau turunnya investasi Telkomsel di GoTo tergantung periode pencatatannya dan harga saham saat dicatatkan," katanya.
Agar kegaduhan investasi perusahaan BUMN di perusahaan digital tidak terjadi lagi, dia berharap perlu adanya peningkatan literasi masyarakat terhadap pasar modal dan pencatatan laporan keuangan. Saat ini edukasi masyarakat terhadap pasar modal dan pencatatan laporan keuangan masih kurang.
Faktor benturan kepentingan yang memiliki hubungan keluarga menurut Nailul perlu dibuktikan. Jika benturan kepentingan dikaitkan dengan potensi lost, ekonom ini menilai tidak tepat.
Ke depan, agar investasi minim benturan kepentingan, Nailul meminta agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkuat aturan mengenai business judgment rule. Aturan yang ada saat ini masih terlalu umum dan multi tafsir. Untuk memperkuat ekonomi digital, katanya, perlu dukungan semua pihak baik itu pemerintah, BUMN dan masyarakat.
"Regulasi yang ada di OJK maupun di perusahaan BUMN diperkuat saja. Sebab potensi ekonomi digital masih bisa tumbuh dan banyak perusahaan digital membutuhkan angel investor dari perusahaan BUMN,” katanya.