Bisnis.com, JAKARTA - Harga minyak merosot pada akhir pekan setelah laporan inflasi AS naik lebih besar dari yang diperkirakan dan China memberlakukan tindakan lockdown pencegahan Covid-19. Sentimen tersebut membuat prospek permintaan minyak tertekan.
Pada perdagangan Jumat (10/6/2022), harga minyak WTI kontrak Juli 2022 turun 0,69 persen menjadi US$120,67 per barel. Harga minyak Brent kontrak Agustus 2022 turun 0,86 persen menuju US$122,01 per barel.
Mengutip Antara, kedua harga acuan minyak masih membukukan kenaikan mingguan 1,9 persen untuk Brent dan 1,5 persen untuk WTI.
Harga minyak merosot bersama dengan saham Wall Street setelah berita bahwa inflasi AS meningkat pada Mei. Harga bensin telah mencapai rekor tertinggi dan biaya makanan melonjak, menyebabkan kenaikan inflasi tahunan terbesar dalam sekitar 40 tahun. Itu meningkatkan ekspektasi bahwa Federal Reserve akan memperketat kebijakan lebih agresif.
"Kekhawatiran itu bisa menjadi indikator kebiasaan konsumen dan meskipun permintaan bensin kuat sekarang, itu pertanda di masa depan bahwa jika harga bensin tidak stabil maka konsumen akan mengurangi (pembelian)," kata Phil Flynn, analis di Price Futures.
Sementara itu, Shanghai dan Beijing kembali waspada Covid-19 pada Kamis (9/6/2022). Beberapa bagian Shanghai memberlakukan pembatasan penguncian baru dan kota itu mengumumkan putaran pengujian massal untuk jutaan penduduk.
Baca Juga
Impor minyak mentah China pada Mei naik hampir 12 persen dari tahun sebelumnya, ketika permintaan mereka rendah.
"Ini tidak menunjukkan bahwa permintaan minyak meningkat. Sebaliknya, China cenderung bertindak oportunis, membeli minyak mentah dari Rusia dengan harga yang jauh lebih rendah daripada tingkat pasar global untuk mengisi kembali stoknya," kata analis Commerzbank, Carsten Fritsch.
Dalam pasokan AS, jumlah rig minyak AS, indikasi pasokan di masa depan, naik 6 rig menjadi 580 minggu ini, tertinggi sejak Maret 2020.
Sementara itu, prospek untuk mencapai kesepakatan nuklir dengan Iran dan mencabut sanksi AS terhadap sektor energi Iran telah surut.
Iran pada Kamis (9/6/2022) memberikan pukulan yang hampir fatal terhadap peluang menghidupkan kembali kesepakatan nuklir, karena negara itu mulai menyingkirkan semua peralatan pemantauan Badan Energi Atom Internasional yang dipasang di bawah kesepakatan itu, kata kepala IAEA Rafael Grossi.