Bisnis.com, JAKARTA – Jika dibandingkan dari sisi imbal hasil, ternyata imbal hasil obligasi korporasi cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan obligasi pemerintah.
Chief Economist Bank Permata Josua Pardede menyampaikan hal tersebut, berdasarkan data indeks obligasi dari Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), sepanjang tahun imbal hasil dari obligasi korporasi cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan obligasi pemerintah.
“Per 3 Juni 2022, imbal hasil dari obligasi korporasi berada pada kisaran 3,1 persen year to date (ytd), sementara imbal hasil dari obligasi pemerintah tercatat sebesar -0,5 persen ytd,” jelas Josua kepada Bisnis, Selasa (7/6/2022).
Josua memperkirakan, peningkatan imbal hasil dari obligasi korporasi di dalam negeri terkait dengan dukungan kinerja keuangan para pelaku usaha di tahun 2022, sehingga mampu membatasi dampak dari sentimen hawkish dari The Fed, yang memang mendominasi sentimen pasar obligasi secara umum di tahun 2022.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, realisasi pembiayaan melalui surat utang pemerintah telah mencapai Rp356,81 triliun hingga 24 Mei 2022.
Sementara itu, emisi obligasi dan sukuk korporasi juga lebih semarak dibandingkan dengan tahun lalu. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) hingga 25 Mei 2022, total emisi obligasi dan sukuk yang sudah tercatat adalah 50 Emisi dari 38 Emiten senilai Rp62,45 triliun.
Baca Juga
Dengan pencatatan ini maka total emisi Obligasi dan Sukuk yang tercatat di BEI berjumlah 504 emisi dengan nilai nominal outstanding sebesar Rp459,72 Triliun dan US$47,5 juta, diterbitkan oleh 123 Emiten.
Selanjutnya, SBN yang tercatat di BEI berjumlah 152 seri dengan nilai nominal Rp4.864,39 Triliun dan US$205,99 juta. EBA sebanyak 10 emisi senilai Rp4,39 Triliun.
Josua melanjutkan, jika dicermati dari seri benchmark, terlihat bahwa seri-seri pendek cenderung lebih volatil dibandingkan dengan seri yang lebih panjang.
“Secara year-to-date, kenaikan yield dari seri 5-tahun dan 10-tahun cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan seri yang lebih panjang,” katanya.
Namun dia mengatakan dalam satu hingga dua minggu belakangan, ketika kenaikan sentimen risk-on mendominasi pasar obligasi, terlihat bahwa yield seri pendek mengalami penurunan yield yang cukup signifikan.
Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan sentimen risiko yang cenderung dinamis dalam jangka pendek ini, menurutnya terdapat kecenderungan bagi investor memperpendek durasi dari portofolio obligasi.
Sementara ketika risiko sentimen kedepannya cenderung membaik, Josua berpendapat investor akan kembali masuk ke obligasi dengan tenor yang lebih panjang.
“Ke depannya, sentimen dari tightening cycle bank sentral global masih akan menjadi tantangan utama, baik untuk obligasi korporasi maupun obligasi pemerintah,” ungkap Josua.
Selain itu, dia juga memperkirakan bahwa investor juga menghadapi tantangan ketika Bank Indonesia (BI) mulai menaikan suku bunga.
Di mana, Joshua memperkirakan kenaikan suku bunga BI terjadi dalam waktu 1 - 3 bulan ke depan, dalam rangka proses normalisasi kebijakan moneter.
“Yield obligasi sendiri berpotensi tertekan, meskipun lebih terbatas di paruh kedua 2022 mendatang,” papar Josua.