Bisnis.com, JAKARTA - Tahun 2025 masih diwarnai ketegangan geopolitik dunia yang kerap memicu volatilitas harga aset keuangan, terutama pada pasar saham.
Obligasi sebagai aset kelas pendapatan tetap (fixed income) menawarkan keamanan investasi dengan hasil yang seimbang dengan tingkat risiko. Instrumen ini cocok menjadi pilihan di tengah ketidakpastian global.
Namun, pasar obligasi di Indonesia, khususnya terbitan korporasi masih terbatas.
Kontribusi obligasi korporasi terbitan tahun 2024 terhadap ekonomi Indonesia mencapai Rp142 triliun atau hanya sekitar 0,64% dari PDB harga berlaku yang melampaui Rp22.000 triliun.
Masih banyak keterbatasan struktural maupun institusional. Pengembangan pasar obligasi korporasi pun tampaknya tak sepopuler pasar saham dan obligasi negara.
Padahal, pasar obligasi korporasi domestik memendam potensi besar. Penerbitan obligasi bagi perusahaan dapat mendukung strategi bisnis dan pendanaan produktif.
Baca Juga
Secara makro, optimalisasi pasar obligasi korporasi dapat menjadi solusi gap pembiayaan ekonomi yang belum tentu tercapai melalui obligasi negara. Pasalnya, obligasi negara berfungsi mendanai proyek pemerintah yang belum tentu sejalan dengan orientasi bisnis swasta.
Pasar obligasi korporasi yang “hidup” juga mendukung iklim investasi portofolio, sehingga para investor dapat mengalokasi risiko secara baik.
Tantangan utama pengembangan pasar obligasi timbul secara inheren. Sebagai instrumen fixed income, obligasi cenderung tak likuid. Menemukan pembeli di pasar sekunder belum tentu mudah. Para ahli menyebut pasar obligasi relatif “sepi” karena tak banyak terjadi perdagangan.
Investor memang cenderung menahan obligasi hingga jatuh tempo (buy and hold). Instrumen obligasi juga bervariasi, mulai dari obligasi beragun aset (secured bonds) hingga obligasi khusus, seperti dengan hak pembayaran awal (call atau put) dan konversi (convertible bonds).
Tingkat risiko pun beragam dari rendah (investment grade) hingga tinggi (junk bonds). Realitas ini memberikan tantangan bagi likuiditas pasar. Perdagangan obligasi relatif “mahal” karena perlu menyesuaikan “selera” investasi (risk appetite) yang heterogen, khususnya pada pasar sekunder. Strategi buy and hold tak sepenuhnya salah, terutama dalam menyesuaikan kebutuhan dana jangka panjang.
Tetapi, likuiditas berperan penting dalam efisiensi pasar, termasuk pembentukan harga. Likuiditas juga memfasilitasi manajemen risiko ketika investor perlu “keluar” dari pasar. Tanpa likuiditas, daya tarik pasar akan lemah.
Pasar obligasi korporasi RI masih didominasi institusi keuangan. Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) melaporkan bahwa pasar ini dikuasai perusahaan asuransi, dana pensiun, reksa dana, dan bank. Segmen investor individu masih sangat terbatas, hanya 7,2%. Keterlibatan perusahaan efek bahkan lebih rendah, hanya 0,52%.
Partisipasi investor individu yang rendah membuat pendalaman pasar kurang optimal. Segmen ini patut digarap serius, mengingat basis populasi yang terus tumbuh. Fragmentasi pasar obligasi pada institusi keuangan juga perlu diurai, antara lain melalui optimalisasi peran perusahaan efek dalam memfasilitasi perdagangan.
Kerap timbul asumsi bahwa obligasi korporasi hanya cocok bagi “pemain besar”. Hal ini tak sepenuhnya benar. Tema investasi hijau (green investment) yang sedang booming secara internasional kerap mengandalkan obligasi korporasi sebagai instrumen. Penerbit obligasi selalu dapat menyesuaikan denominasi obligasi agar penjualan per unit menjangkau segmen ritel.
Regulasi memang memberikan kemudahan bagi segmen yang dianggap lebih mampu mengelola dan memitigasi risiko investasi. OJK mengatur penerbitan obligasi khusus bagi “pemodal profesional” dan penawaran terbatas. Kondisi ini memberikan fleksibilitas, tapi dapat menggiring fokus penerbit terbatas pada “pemain besar”. Guna menggarap segmen ritel, perlu penyempurnaan regulasi dengan mempertimbangkan aspek risiko, keragaman produk, serta peningkatan proteksi bagi investor individu.
Tantangan likuiditas dapat diantisipasi dengan membangun pasar yang kompetitif, termasuk ekosistem repo obligasi dan lindung nilai (hedging). Berbeda dengan perdagangan saham yang tersentralisasi pada Bursa Efek Indonesia (BEI), sebagian besar perdagangan obligasi korporasi terjadi di luar bursa (over the counter). OJK telah mengatur sistem perdagangan pasar alternatif (SPPA) yang diselenggarakan BEI, dengan pangsa yang dilaporkan meningkat 16% tahun lalu.
Pangsa ini masih perlu dioptimalisasi. Partisipasi aktif perusahaan efek sebagai dealer dalam intermediasi transaksi masih perlu didorong, guna mendukung penyediaan likuiditas dan mendorong pasar obligasi yang aktif.
RELASI PERDATA
Pada akhirnya, investasi pada obligasi korporasi akan bertumpu pada pembayaran utang. Perlu kepastian atas hal ini, serta perlindungan hak pemodal bila terjadi gagal bayar. Regulasi dapat membe-rikan proteksi, namun belum cukup.
Utang sesungguhnya juga tentang relasi perdata. Masyarakat kerap menghadapi kenyataan ironis bahwa “yang berutang lebih ‘ganas’ dibandingkan pemberi utang”.
Jika hal ini merambah pasar modal, investor tentu akan enggan berpartisipasi. Hak-hak keperdataan investor sejatinya adalah pilar fundamental pengembangan pasar modal, meski sering terlewatkan kare-na reformasi regulasi sektoral telah konsisten dilakukan.
Indonesia masih bergantung pada hukum perdata peninggalan Belanda. Padahal, Belanda telah mela-kukan reformasi pada 1992. Pembaruan aturan hukum atas relasi perdata, seperti pemantauan utang secara kolektif, efisiensi pelekatan dan eksekusi hak tanggungan, serta solusi debitur pailit niscaya dapat mendongkrak prospek pasar obligasi korporasi, di tengah tantangan likuiditas yang inheren.