Bisnis.com, JAKARTA – Kenaikan suku bunga yang dilakukan The Fed pada pekan lalu akan semakin menekan kondisi pasar obligasi Indonesia.
Riset dari Infovesta Utama pada Senin (9/5/2022) menyebutkan, langkah The Fed akan menimbulkan tekanan pada pasar obligasi Indonesia. Kebijakan tersebut ditempuh the Fed dilakukan demi menetralisir kondisi inflasi AS.
Kondisi pasar surat utang Indonesia akan semakin dibebani oleh inflasi Indonesia yang diprediksi melonjak. Potensi kenaikan inflasi diatas 3 persen akan menjadi salah satu dorongan bagi Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuan, mengikuti arah kebijakan the Fed.
Lebih lanjut, faktor kondisi geopolitik Rusia-Ukraina yang belum mereda dan imbal hasil obligasi AS (US Treasury) yang menarik juga menjadi sentimen negatif bagi pasar obligasi Indonesia.
“Oleh karena itu, sebaiknya para pelaku pasar untuk sementara menghindari investasi pada instrumen ini sampai imbal hasil naik di level yang cukup menarik untuk masuk kembali,” demikian kutipan laporan tersebut.
Adapun, pasar reksa dana pendapatan tetap maupun reksa dana saham saat ini masih menunjukkan kecendrungan negatif sejalan dengan kebijakan kenaikan suku bunga the Fed. Tekanan ini diprediksi akan terus berlanjut hingga kuartal II/2022.
Baca Juga
“Sebagai alternatif berinvestasi, sebaiknya para pelaku pasar dapat mempertimbangkan reksa dana pasar uang karena adanya sentiment kenaikan suku bunga,” pungkasnya.
Data dari World Government Bonds pada Senin (9/5/2022) mencatat, tingkat imbal hasil SUN Indonesia telah menembus level 7,22 persen. Selama sepekan terakhir, yield SUN Indonesia telah melemah sebesar 22,9 basis poin.
Sebelumnya, Bank sentral AS, The Fed mengumumkan kebijakan kenaikan suku bunga 50 basis poin usai rapat FOMC, Kamis (5/5/2022) dini hari waktu Indonesia.
Kebijakan tersebut akan membuat kisaran target untuk suku bunga dana federal mencapai 0,75 persen hingga 1 persen, dibandingkan kisaran sebelumnya yang berada pada rentang 0,25 persen hingga 0,5 persen.
Berdasarkan catatan Bloomberg, ini merupaka kenaikan paling agresif yang pernah dilakukan The Fed sejak tahun 2000. The Fed mengatakan bahwa kenaikan ini terpaksa ditempuh demi menetralisir kondisi inflasi AS.
"Inflasi sudah terlalu tinggi. Kami memahami dampak yang ditimbulkan, dan kami bergerak secepat mungkin untuk membuatnya turun lagi," tutur Gubernur The Fed Jerome Powell dalam pernyataan resminya.