Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah memutuskan untuk menunda penerapan pajak karbon hingga Juli 2022. Menanggapi hal ini, emiten batu bara PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) menyebutkan menyanggupi dan akan mematuhi apapun keputusan pemerintah.
Direktur sekaligus Corporate Secretary Bumi Resources Dileep Srivastava menyebutkan, saat ini BUMI juga sudah mulai bergerak ke arah energi beremisi rendah.
“BUMI sudah menjadi pemimpin dalam kegiatan Lingkungan, Sosial, Pemerintah [ESG] dan terlibat dalam proyek energi dan gasifikasi yang lebih bersih dan sedang mengkaji kelayakan proyek energi terbarukan dan proyek ‘biru’,” kata Dileep kepada Bisnis, Rabu (30/3/2022).
Menanggapi penerapan pajak karbon, Dileep mengatakan pajak karbon menjadi langkah mitigasi yang sudah mulai diterapkan secara global.
“Ketika efektif, kami akan menyerap pajak ini seperti yang sudah dilakukan sebelumnya dan mematuhi peraturan sebagai warga negara yang bertanggung jawab,” kata Dileep.
Terkait dengan risiko penerapan pajak karbon, seperti potensi kenaikan harga listrik, BUMI tidak ingin berspekulasi dan tidak memberikan tanggapan.
Baca Juga
Sebagai informasi, Pemerintah menunda implementasi pajak karbon yang awalnya akan berlaku pada 1 April 2022 karena proses penyusunan regulasi yang masih berjalan. Impelentasi itu kemungkinan ditunda hingga Juli 2022.
Kepala Badan Kebijakan Fiska (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan bahwa pemerintah terus menyelesaikan penyusunan aturan turunan dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Salah satu aturan turunan yang masih diproses adalah terkait pengenaan pajak karbon. Dalam UU HPP, pemerintah menjadwalkan implementasi pajak karbon pada Jumat (1/4/2022), tetapi ternyata akan tertunda.
Implementasi pajak karbon bukan hanya mengacu kepada UU HPP. Instrumen pajak itu pun berkaitan dengan Peraturan Presiden (Perpres) 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Perpres itu mengatur tentang nilai ekonomi karbon, yang salah satu instrumennya berkaitan dengan implementasi pajak karbon. Menurut Febrio, rangkaian kebijakan itu bertujuan menjaga aktivitas ekonomi dapat selaras dengan upaya menekan emisi karbon dan menangani persoalan krisis iklim.