Bisnis.com, JAKARTA - Kenaikan harga komoditas minyak mentah diperkirakan mereda pada kuartal II/2022 karena keseimbangan sisi permintaan dan suplai.
Pada perdagangan Kamis (10/2/2022) pukul 6.47 WIB, harga minyak WTI kontrak Maret 2022 naik 0,86 persen atau 0,77 poin menjadi US$90,43 per barel. Harga minyak Brent kontrak April 2022 meningkat 0,55 persen atau 0,5 poin menuju US$92,05 per barel.
Kepala Ekonom Citibank Helmi Arman menjelaskan bahwa dari sisi permintaan, proyeksi terkait dengan penurunan harga minyak erat kaitannya dengan faktor musiman.
Hal ini karena negara-negara di belahan bumi bagian utara akan memasuki musim semi atau spring. Awalnya, kenaikan harga minyak dipicu salah satunya oleh kenaikan permintaan terhadap energi terutama gas, untuk kebutuhan menghadapi musim dingin.
Untuk itu, turunnya permintaan terhadap gas bisa menyebabkan juga turunnya harga energi tersebut sehingga akan ada spill over pada permintaan terhadap dua komoditas lain, yakni batu bara dan minyak.
"Jadi, mulai kuartal II nanti karena sudah memauski spring, maka kebutuhan gas untuk heating di dunia bagian utara akan mulai turun. Ini akan mempunyai efek spillover ke komoditas-komoditas lain. Karena, antara gas dan minyak serta gas dan batu bara, itu ada efek substitusinya. Terutama di sektor energi," jelas Helmi pada taklimat media virtual, Kamis (10/2/2022).
Baca Juga
Sementara itu, dari sisi suplai, Helmi memprakirakan turunnya harga minyak didorong oleh tambahan suplai dari sebagian negara anggota OPEC.
"Kalau tidak salah ada suplai tambahan dari Rusia tahun ini, dan mudah-mudahan juga dari Iran, kalau Iran dengan AS sudah bisa mencapai kesepakatan terkait dengan JCPOA. Jadi, tambahan suplai ini dikombinasikan dengan penurunan permintaan musiman, maka kami ekspektasikan akan membuat harga komoditas energi dunia termasuk minyak akan mulai mereda," jelasnya.
Helmi lalu memperkirakan turunnya harga energi dunia akan diikuti oleh ekspektasi penguatan dolar Amerika Serikat (AS) yang mereda. Hal tersebut, tambahnya, bisa menguntungkan Indonesia sebagai negara berkembang yang akan kembali dilirik oleh para investor global.
"Apabila komoditas harga energi dunia nanti mulai turun, maka ekspektasi penguatan dolar juga seharusnya akan mulai mereda. Lalu, mungkin investor global kembali mulai melirik untuk memasukkan dananya ke negara-negara berkembang," jelasnya.