Bisnis.com, JAKARTA – Keputusan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk melanjutkan pembagian beban atau burden sharing pada 2021 dan 2022 dinilai dapat meningkatkan daya tarik Surat Utang Indonesia (SUN) di mata investor asing.
Menurut Head of Fixed Income Research BNI Sekuritas Ariawan, perpanjangan burden sharing antara pemerintah dengan Bank Indonesia hingga 2022 mendatang akan berimbas positif bagi pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Ia menjelaskan, kesepakatan berbagi beban tersebut dapat menekan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari sisi kupon penerbitan SBN. Hal tersebut karena beban bunga akan ditanggung oleh BI dan juga Kementerian Keuangan.
Hal tersebut juga didukung oleh tingkat bunga yang disepakati sebagai acuan. Pemerintah dan BI telah menetapkan Suku Bunga Reverse Repo BI tenor 3 bulan sebagai acuan.
“Suku bunga ini berada di bawah tingkat suku bunga pasar. Sehingga, pemerintah bisa menghemat beban kupon yang akan dikeluarkan,” katanya saat dihubungi Bisnis pada Selasa (24/8/2021).
Pengendalian beban bunga ini, lanjutnya, akan berimbas pada meningkatnya minat investor, terutama dari luar negeri, terhadap pasar SUN Indonesia. Sehingga, posisi credit default swap (CDS) Indonesia juga akan semakin kuat.
Baca Juga
Seperti diketahui, level CDS yang semakin rendah menunjukkan ekspektasi risiko investasi yang semakin rendah pula pada instrumen surat utang suatu negara, dalam hal ini untuk surat utang Indonesia dalam denominasi rupiah.
“Apalagi, saat ini minat investor terhadap SBN Indonesia juga terbilang masih bagus. Dengan adanya kebijakan ini, potensi inflow dari pasar surat utang juga semakin besar,” tambahnya.
Selain itu, kerja sama antara BI dan pemerintah ini juga dapat membantu mengurangi penerbitan SBN pada tahun depan. Hal ini sejalan dengan penurunan target penerbitan SBN yang tercantum pada Rencana APBN (RAPBN) 2022 sebesar Rp991,28 triliun.
Ariawan mengatakan, dengan pasokan SBN yang turun dan permintaan pasar yang masih tinggi, maka harga surat berharga negara Indonesia akan mengalami kenaikan. Hal ini juga akan berimbas pada penguatan imbal hasil (yield) SUN.
Sebagai catatan, pergerakan harga obligasi dan yield obligasi saling bertolak belakang. Kenaikan harga obligasi akan membuat posisi yield mengalami penurunan sementara penurunan harga akan menekan tingkat imbal hasil.
Data dari laman World Government Bonds mencatat, tingkat imbal hasil Surat Utang Negara Indonesia seri acuan 10 tahun berada pada kisaran 6,419 persen. Sementara itu, CDS Indonesia 5 tahun berada di level 73,286.
Lebih lanjut, Ariawan mengatakan berkurangnya penerbitan SBN juga memungkinkan pemerintah untuk menekan biaya penerbitan surat utang atau cost of fund.
Ke depannya, Ariawan optimistis perpanjangan burden sharing akan memperkuat posisi imbal hasil SBN Indonesia. Kendati demikian, sejumlah sentimen negatif dari luar negeri juga masih membayangi pergerakan yield.
Ia menjelaskan, sejauh ini tingkat ketidakpastian global masih cukup tinggi menyusul munculnya varian delta pada virus corona. Hal ini mengganggu laju pemulihan ekonomi dunia, terutama pada negara-negara dengan kekuatan ekonomi yang signifikan.
Ketidakpastian tersebut juga berdampak pada prospek tapering off yang akan dilakukan bank sentral AS, The Fed. Menurut Ariawan, sejauh ini pelaku pasar masih terus menanti kejelasan bentuk tapering yang akan dilakukan The Fed di tengah fluktuasi pasar yang cukup tinggi.
“Sentimen ini juga masih akan berperan dalam pergerakan yield SBN pada tahun depan. Hingga akhir tahun ini, kami perkirakan yield SUN Indonesia berada di level 6 persen,” pungkasnya.