Bisnis.com, JAKARTA - Kinerja keuangan emiten maskapai BUMN PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) cenderung tertekan pada 2020. Setali tiga uang, pergerakan sahamnya pun menurun pada 2021.
Bursa Efek Indonesia (BEI) menyetop perdagangan saham GIAA pada 18 Juni 2021. Suspensi saham terebut masih berlangsung hingga saat ini, sehingga saham Garuda tidak lagi bergerak.
BEI melakukan suspensi saham GIAA karena perseroan menunda pembayaran sukuk global senilai US$500 juta yang jatuh tempo pada 3 Juni 2021, dan diperpanjang dengan hak grace period hingga 17 Juni 2021.
"Penundaan pembayaran mengindikasikan adanya permasalahan pada kelangsungan usaha perseroan," papar Bursa.
Penghentian sementara saham GIAA berlaku di seluruh pasar sejak 18 Juni 2021 sesi I. Perdagangan saham GIAA dibuka kembali setelah ada pengumuman lanjutan dari Bursa.
Sebelum disuspensi, saham GIAA bertengger di posisi Rp222. Level itu merosot 44,78 persen sepanjang 2021.
Baca Juga
Sepanjang tahun ini, saham GIAA bergerak di rentang Rp220-Rp440. Saham GIAA sempat mencapai level tertingginya pada awal Januari 2021, dan kemudian berangsur-angsur menurun.
Susunan pemegang saham utama GIAA adalah pemerintah 60,5363 persen, PT Trans Airways 25,809 persen, dan masyarakat 13,6545 persen.
Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2020, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) mencatatkan kerugian senilai US$2,44 miliar atau setara dengan Rp34,45 triliun pada 2020.
Garuda Indonesia mencatatkan pendapatan US$1,49 miliar atau sekitar Rp21,04 triliun. Nilai itu turun 67,36 persen dari pendapatan pada 2019 sejumlah US$4,57 miliar atau Rp64,48 triliun.
Penerbangan berjadwal menjadi kontributor utama pendapatan Garuda senilai US$1,2 miliar pada 2020, anjlok dari 2019 sejumlah US$3,77 miliar.
Sementara itu, Garuda harus menanggung beban operasional penerbangan US$1,65 miliar pada 2020, lebih besar dari raihan pendapatan perusahaan. Selain itu, masih ada beban lainnya seperti beban bandara, pelayanan penumpang, operasional jaringan, dan sebagainya.
Garuda Indonesia pun membukukan rugi bersih US$2,44 miliar atau setara dengan Rp34,45 triliun pada 2020. Kerugian itu membengkak dari rugi bersih pada 2019 senilai US$38,94 juta.
Ekuitas Garuda pun negatif atau defisiensi modal US$1,94 miliar pada akhir 2020. Kondisi itu berbalik dari ekuitas positif US$582,58 juta pada 2019.
Liabilitas Garuda mencapai US$12,73 miliar pada 2020, dengan perincian liabilitas jangka panjang US$8,44 miliar dan jangka pendek US$4,29 miliar. Liabilitas Garuda bertambah dari 2019 sejumlah US$3,87 miliar.
Dalam laporan keuanganya, manajemen Garuda menjelaskan Grup mengalami kerugian sebesar US$2,5 miliar dan pada tanggal 31 Desember 2020, liabilitas jangka pendek Grup melebihi aset lancarnya sejumlah US$3,8 miliar. Garuda mengalami defisiensi ekuitas sebesar US$1,9 miliar.
"Pandemi COVID-19, diikuti dengan pembatasan perjalanan, telah menyebabkan penurunan perjalanan udara yang signifikan, dan memiliki dampak buruk pada operasi dan likuiditas Grup," papar manajemen GIAA dalam laporan keuangannya.