Bisnis.com, JAKARTA — Meski nilai penerbitan surat utang korporasi di paruh pertama 2021 meningkat dibanding periode yang sama tahun lalu, manajer investasi mengaku masih kesulitan mencari aset untuk underlying produk mereka.
PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) mencatat hingga semester I/2021, total penerbitan surat utang korporasi nasional adalah sebesar Rp43,37 triliun, naik dibandingkan dengan emisi sepanjang semester I/2020 lalu sebanyak Rp30,03 triliun.
Adapun sektor multifinance dan lembaga pembiayaan khusus masih mendominasi penerbitan surat utang pada semester I/2021, dengan nilai penerbitan masing-masing senilai Rp8,56 triliun dan Rp7,11 triliun.
Direktur Panin Asset Sekuritas Rudiyanto mengatakan pada dasarnya kondisi penerbitan surat utang korporasi sepanjang paruh pertama tahun ini memang lebih baik dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
“Sekarang sudah lebih banyak ya penerbitan obligasi korporasi dibandingkan dengan tahun lalu, di tempat saya juga sudah ada yang digunakan untuk jadi underlying proteksi,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (8/7/2021)
Rudiyanto menuturkan, secara jumlah penerbitan memang ada peningkatan tapi akan lebih baik jika ada penerbitan surat utang lebih banyak dari kategori rating yang lebih bagus serta terbit secara berkala.
Baca Juga
Menurutnya, saat ini minat terhadap surat utang korporasi yang memiliki rating bagus sangat tinggi tetapi jumlah yang diterbitkan dan beredar di pasar masih terbatas sehingga terjadi rebutan di kalangan investor.
“Kadang ada barang yang bagus, sesuai kriteria, tapi karena permintaan banyak kita nggak bisa dapat jatah yang kita harapkan. Sementara barang yang kurang bagus kita pesan berapa juga tersedia. Jadi manajer investasi masih mikir-mikir,” imbuhnya.
Di sisi lain, Rudiyanto mengatakan beberapa kasus tunda bayar dan gagal bayar yang terjadi belakangan ini juga kerap membuat investor memiliki kekhawatiran akan produk investasi berbasis surat utang korporasi.
“Mereka jadi sering tanya ini aman nggak, kalau sampai terjadi gagal bayar mekanismenya seperti apa. Membuat nasabah lebih aware, tapi ini juga bagus karena artinya mereka lebih concern untuk memahami produk investasinya dengan lebih baik,” tutur dia.
Adapun dalam meracik produk reksa dana terproteksi, Rudiyanto tidak melihat sektor melainkan menekankan pada prospek bisnis dan reputasi pemegang saham dari perusahaan penerbit, selain dari rating surat utangnya.
Terpisah, Direktur Riset dan Kepala Investasi Alternatif PT Bahana TCW Investment Management Soni Wibowo juga belum lama ini mengeluhkan sulitnya mencari underlying asset untuk produk terproteksi.
Dia menuturkan, sepanjang paruh pertama tahun ini Bahana TCW hanya menerbitkan 7 produk yang beberapa di antaranya merupakan reksa dana terproteksi.
Senada dengan Rudiyanto, Soni mengatakan saat ini surat utang korporasi yang masuk dalam kriteria underlying asset untuk produk reksa dana terproteksi masih terbatas sehingga manajer investasi kesulitan untuk menerbitkan produk baru.
“Kebanyakan [reksa dana terproteksi baru] itu untuk mengganti yang mature, jatuh tempo. Tapi itu juga sizenya mengecil karena barangnya nggak ada,” tutur Soni kepada Bisnis belum lama ini.
Jika melihat pada data Pefindo, porsi penerbitan surat utang korporasi dengan rating paling tinggi yakni AAA (triple-A) hanya sekitar 35 persen dari total penerbitan. Porsinya mengecil jika dibandingkan pada 2020 yang mencapai 47,4 persen dan pada 2019 mencapai 55,7 persen.
Sementara itu porsi penerbitan surat utang dengan rating AA (double-A) mencapai 20,3 persen dan rating A (single-A) sebanyak 40,0 persen di semester I/2021 ini.