Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mata Uang Asia Terdepresiasi, Rupiah Ikut Dibuka Loyo

Selain mata uang Garuda yang melemah, rupee India dan baht Thailand sama-sama mengalami depresiasi 0,31 persen, diikuti won Korea, peso Filipina, dan ringgit Malaysia yang kompak melemah 0,18 persen pada awal hari ini.
Petugas menunjukkan mata uang dolar AS dan rupiah di Money Changer, Jakarta, Senin (19/4/2021). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Petugas menunjukkan mata uang dolar AS dan rupiah di Money Changer, Jakarta, Senin (19/4/2021). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA - Nilai tukar rupiah kembali dibuka melemah pada awal perdagangan hari ini, Jumat (2/7/2021)

Berdasarkan data Bloomberg, rupiah mengawali lajunya di level Rp14.520 per dolar AS atau terkoreksi 17,5 poin atau 0,12 persen dari level sebelumnya. Pun, kemarin mata uang Garuda ditutup melemah tipis 0,02 persen atau 2,5 poin ke level Rp14.502,50.

Mayoritas mata uang Asia lainnya juga melemah. Tercatat, rupee India dan baht Thailand sama-sama mengalami depresiasi 0,31 persen, diikuti won Korea, peso Filipina, dan ringgit Malaysia yang kompak melemah 0,18 persen.

Begitu pula dengan dolar Taiwan yang melemah 0,14 persen, yuan China turun 0,13 persen, dan dolar Singapura yang turun 0,10 persen.

Sementara itu indeks dolar di pasar spot juga terpantau memerah 0,02 persen ke level 92,57.

Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi dalam laporannya mengatakan pergerakan rupiah hari ini dipengaruhi oleh respons positif pasar terkait dampak lonjakan kasus positif virus corona terhadap inflasi Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan lonjakan jumlah kasus virus corona di Indonesia belum berdampak ke tingkat inflasi atau kenaikan indeks harga konsumen pada Juni 2021, begitu juga dengan kebijakan PPKM mikro darurat.

Lonjakan kasus virus corona sudah terjadi dalam beberapa hari terakhir di tanah air dan indeks harga konsumen mencatatkan deflasi 0,16 persen pada Juni lalu.

"Tetapi, hal ini bukan semata-mata karena kasus covid-19 melonjak," katanya, dikutip Jumat (2/6/2021)

BPS menyebutkan, dampak pemberlakuan PPKM Darurat baru terlihat pada bulan depan. Deflasi pada Juni 2021 terjadi karena penurunan harga sejumlah bahan pangan. Mulai dari cabai merah, daging ayam ras, cabai rawit, bawang merah, dan lainnya.

Di sisi lain, lonjakan kasus covid-19 juga belum mempengaruhi tingkat daya beli (konsumsi) masyarakat. Hal ini terbukti dari tingkat inflasi inti sebesar 0,14 persen dan memberi andil 0,09 persen kepada inflasi secara keseluruhan.

Sementara itu, dari luar negeri, dolar AS terkonsolidasi seiring dengan sikap pelaku pasar yang menunggu laporan ketenagakerjaan utama Jumat ini untuk mencari indikasi tentang kebijakan The Fed di masa depan.

Data yang menunjukkan perusahaan-perusahaan AS mempekerjakan lebih banyak karyawan baru dari ekspektasi pada bulan Juni, menambah tanda-tanda bahwa pasar tenaga kerja negara tersebut pulih dengan kuat.

Penggajian swasta meningkat lebih besar dari perkiraan 692.000 pekerjaan bulan lalu, menurut data ADP Research Institute yang dirilis Rabu, di atas 600.000 pekerjaan yang diharapkan.

Laporan ADP adalah pendahuluan yang diawasi secara luas untuk rilis nonfarm payrolls resmi AS pada hari Jumat, meskipun hubungan antara keduanya tidak seketat biasanya sejak pandemi dimulai. Tapi itu adalah laporan pasar tenaga kerja resmi yang lebih berbobot dengan The Fed.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Farid Firdaus

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper