Bisnis.com, JAKARTA – Emiten maskapai penerbangan, PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) terus melakukan langkah efisiensi guna mengurangi beban perusahaan di tengah tekanan dampak Covid-19. GIAA kembalikan dua armada B737-800 NG kepada salah satu lessornya.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menuturkan sejalan dengan upaya intensif pemulihan kinerja usaha, maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia tengah melakukan percepatan pengembalian lebih awal armada yang belum jatuh tempo masa sewanya.
Langkah strategis tersebut salah satunya ditandai dengan pengembalian dua armada B737-800 NG kepada salah satu lessor pesawat.
Adapun percepatan pengembalian tersebut dilakukan setelah adanya kesepakatan bersama antara Garuda Indonesia dan pihak lessor pesawat, dimana salah satu syarat pengembalian pesawat adalah dengan melakukan perubahan kode registrasi pesawat terkait.
"Percepatan pengembalian armada yang belum jatuh tempo masa sewanya, merupakan bagian dari langkah strategis Garuda Indonesia dalam mengoptimalisasikan produktivitas armada dengan mempercepat jangka waktu sewa pesawat," jelasnya Senin (7/6/2021).
Hal ini merupakan langkah penting yang perlu GIAA lakukan di tengah tekanan kinerja usaha imbas pandemi Covid-19 dan fokus utama perseroan adalah penyesuaian terhadap proyeksi kebutuhan pasar di era kenormalan baru.
Baca Juga
"Saat ini, kami juga terus menjalin komunikasi bersama lessor pesawat lainnya, tentunya dengan mengedepankan aspek legalitas dan compliance yang berlaku," kata Irfan.
Sebelumnya, Wakil Menteri BUMN Kartiko Wirjoatmodjo mengungkapkan dengan aturan akuntansi baru, emiten bersandi GIAA ini tercatat memiliki utang Rp70 triliun atau setara US$4,5 miliar.
Jika mengacu pada EBITDA perseroan yang paling tinggi mencapai US$250 juta, artinya utang tersebut senilai 18 kalinya.
Mayoritas utang Garuda kepada lessor dan sukuk internasional yang bisa Kementerian BUMN lakukan dan sedang dilakukan yakni menunjuk konsultan hukum dan konsultan keuangan untuk memulai proses negosiasi ulang.
"Memang harus segera melakukan moratorium atau stand still dalam waktu dekat, karena tanpa moratorium, maka kasusnya akan habis dalam waktu yang sangat pendek sekali," tegasnya beberapa waktu lalu.
Kartiko menerangkan proses restrukturisasi ini tidak akan mudah karena membutuhkan negosiasi dan proses hukum yang berat karena melibatkan banyak pihak.
Di sisi lain, Kementerian BUMN juga mengharapkan biaya di dalam perseroan juga menurun, sehingga mau tidak mau cost structure atau struktur biasa harus dipotong lebih rendah.
Berdasarkan informasi Kementerian BUMN, Saat ini Garuda Indonesia memiliki cost sekitar US$150 juta per bulan, sementara revenue US$50 juta, jadi setiap bulan rugi US$100 juta.
Dengan demikian, proses bisnis yang seperti ini sudah tidak mungkin lagi dilanjutkan apalagi dengan kondisi tekanan terhadap keuangan Garuda saat ini.
"Jadi ini yang harus kami tangani segera, dan apabila Garuda bisa melakukan restrukturisasi secara massal dengan seluruh lender, lessor dan juga pemegang sukuk, dan juga melakukan cost reduction harapannya cost menurun 50 persen atau lebih, maka Garuda bisa survive," katanya.