Bisnis.com, JAKARTA – Ancaman wacana penarikan program pembelian obligasi atau tapering oleh Federal Reserve akibat memanasnya inflasi di Amerika Serikat membuat ekonom berpendapat saat ini pemerintah belum perlu menambah kontribusi Surat Utang Negara (SUN) berdenominasi valas secara signifikan.
Vice President Economist Bank Permata Josua Pardede menjelaskan tingkat kupon dari obligasi berdenominasi valas cenderung lebih rendah dibanding berdenominasi rupiah. Sebab adanya risiko nilai tukar dalam penerbitan sukuk berdenominasi dolar.
Josua meneruskan, bila nilai tukar ke depannya masih memiliki volatilitas yang tinggi, maka risiko beban utang justru semakin meningkat. Sebaliknya, bila volatilitas cenderung rendah, maka beban utang dapat cenderung lebih terkontrol.
“Di tengah ancaman tapering dari The Fed di jangka 2-3 tahun mendatang, maka pemerintah belum perlu untuk menambah kontribusi dari SUN berdenominasi valas secara signifikan,” ungkap Josua saat dihubungi Bisnis, Kamis (3/6/2021).
Sementara itu, pemerintah Indonesia diketahui telah berhasil menghimpun dana US$3 miliar dari penerbitan sukuk global berdenominasi dolar AS.
Josua menerangkan, serapan sebesar US$3 miliar dalam penerbitan sukuk didorong oleh pemulihan sentimen global, setelah pada 2 bulan belakang tekanan dari yield US Treasury berkurang.
Baca Juga
Selain itu juga sejalan dengan afirmasi The Fed disertai dengan data ekonomi AS yang belum menunjukan pemulihan signifikan.
Sentimen tersebut kemudian juga didukung oleh kinerja pemulihan ekonomi Indonesia yang secara bertahap membaik sejak kuartal II/2020, sehingga pemerintah mampu menerbitkan sukuk global dengan kupon yang relatif rendah ungkapnya.
Ia meneruskan, ke depannya, seiring dengan pemulihan ekonomi Indonesia, maka premi risiko dari penerbitan obligasi menjadi semakin rendah, kemudian juga mendorong bertambah rendahnya beban utang Indonesia.
Dari sisi lain, dengan semakin berkembang dan berevolusinya keuangan syariah di Indonesia, Josua memperkirakan permintaan akan sukuk dari Indonesia juga akan meningkat sehingga prospek dari penerbitan sukuk akan lebih baik ke depannya.
Sebelumnya, Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Dwi Irianti Haningdyah menyampaikan pemerintah menerbitkan tiga seri sukuk global.
Seri pertama dengan tenor 5 tahun mengumpulkan dana US$1,25 miliar dengan imbal hasil (yield) 1,5 persen. Seri kedua bertenor 10 tahun memiliki yield 2,55 persen dengan total penjualan US$1 miliar.
Terakhir, seri ketiga dengan tenor 15 tahun menghimpun dana US$750 juta dengan imbal hasil 3,55 persen. Khusus seri ketiga, sukuk tersebut merupakan Green Sukuk yang memiliki penggunaan khusus untuk mendukung proyek hijau.
“Yield semua tenor sukuk global merupakan yang terendah selama penerbitan Global Sukuk sejak 2009,” jelasnya saat dihubungi pada Kamis (3/6/2021).