Bisnis.com, JAKARTA – Sebagai upaya menyelamatkan PT Garuda Indonesia Tbk. dari kebangkrutan, Kementerian BUMN tengah menyiapkan strategi proses hukum untuk segera melakukan moratorium bersama dengan seluruh lessor, kreditur dan pemegang obligasi perseroan.
Wakil Menteri BUMN Kartiko Wirjoatmodjo mengungkapkan dengan aturan akuntansi baru, emiten bersandi GIAA ini tercatat memiliki utang Rp70 triliun atau setara US$4,5 miliar.
Jika mengacu pada EBITDA perseroan yang paling tinggi mencapai US$250 juta, artinya rasio utang tersebut sekitar 18 kalinya.
"Ini yang sedang kami rumuskan pola-polanya maupun legal prosesnya karena ini melibatkan lessor dan ada peminjaman dalam bentuk global sukuk bond yang dimiliki oleh para pemegang saham dari Timur Tengah. Mau tidak mau kalau ingin melakukan negosiasi ulang secara internasional harus melalui proses legal internasional, tidak bisa pakai hukum Indonesia," terangnya dalam Rapat Kerja di Komisi VI DPR, Kamis (3/6/2021).
Hal yang bisa Kementerian BUMN lakukan dan sedang diupayakan terhadap mayoritas utang Garuda Indonesia, termasuk sukuk global yakni menunjuk konsultan hukum dan konsultan keuangan demi memulai proses negosiasi ulang.
"Memang harus segera melakukan moratorium atau stand still dalam waktu dekat, karena tanpa moratorium, maka kasusnya akan habis dalam waktu yang sangat pendek sekali," tegasnya.
Baca Juga
Kartiko menerangkan proses restrukturisasi ini tidak akan mudah karena membutuhkan negosiasi dan proses hukum yang berat lantaran melibatkan banyak pihak.
Emiten bersandi GIAA ini masuk dalam proses restrukturisasi berat dan akan melalui proses legal yang cukup kompleks. Dia mengharapkan dalam waktu 270 hari atau 9 bulan moratorium dapat berlangsung.
"Setelah melakukan moratorium, memang ada risiko apabila dalam proses restrukturisasi kreditur tidak menyetujui atau akhirnya banyak tuntutan-tuntutan legal terhadap Garuda Indonesia bisa terjadi tidak mencapai kuorum dan akhirnya bisa menjadi akan menuju kebankrutan," urainya.
Kementerian BUMN sangat menghindari kemungkinan opsi Garuda dinyatakan pailit, sehingga proses hukumnya harus benar-benar tepat. Harapannya, ada kesepakatan dari seluruh kreditur untuk restrukturisasi GIAA.
Di sisi lain, Kementerian BUMN juga mengharapkan biaya di dalam perseroan juga menurun, sehingga mau tidak mau struktur biaya harus dipotong lebih rendah.
Berdasarkan informasi Kementerian BUMN, saat ini Garuda Indonesia memiliki cost sekitar US$150 juta per bulan, sementara revenue US$50 juta, jadi setiap bulan rugi US$100 juta.
Dengan demikian, proses bisnis yang seperti ini sudah tidak mungkin lagi dilanjutkan apalagi dengan kondisi tekanan terhadap keuangan Garuda saat ini.
"Jadi harus kami tangani segera, dan apabila Garuda bisa melakukan restrukturisasi secara massal dengan seluruh lender, lessor dan juga pemegang sukuk, dan juga melakukan cost reduction harapannya cost menurun 50 persen atau lebih, maka Garuda bisa survive," katanya.