Bisnis.com, JAKARTA — PT Bursa Efek Indonesia terus menggodok sejumlah penyesuaian regulasi untuk menyambut perusahaan teknologi yang ingin melantai di bursa dalam negeri.
Kepala Unit Evaluasi dan Pemantauan PT Bursa Efek Indonesia Hendra Ahmad Hidayat menuturkan bahwa bursa tengah menyusun payung aturan baru untuk mengakomodasi perusahaan teknologi untuk mencatatkan diri di BEI.
Menurutnya, selama ini niat perusahaan teknologi untuk melakukan penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO) terganjal sejumlah aturan yang tak sejalan dengan kondisi mereka, salah satunya kewajiban perusahaan untuk memiliki laba usaha.
Untuk itu, kata Hendra, Bursa akan mengembangkan ketentuan tersebut dari yang semula wajib mencatatkan laba untuk bisa masuk papan utama kini ada alternatif lain yaitu dengan mencatatkan pendapatan tahunan, total aset, atau arus kas dari aktivitas operasional.
“Jadi kalau mereka tidak bisa menggunakan syarat laba usaha, bisa menggunakan syarat total aset atau arus kas aktivitas operasional,” katanya dalam sesi diskusi Akselerasi Pertumbuhan perusahaan Fintech Melalui pasar Modal Indonesia dengan IPO, Rabu (31/3/2021).
Selain itu, Hendra mengatakan Bursa juga terus menggodok regulasi baru yang terkait dengan karakteristik perusahaan teknologi rintisan, seperti skema saham kelas ganda atau dual class shares dengan sistem multiple voting.
Baca Juga
Dia menyebut saat ini Bursa telah menuntaskan kajian hukum terkait dual class shares dan kini tengah dalam tahap diskusi internal dan diskusi bersama otoritas terkait serta stakeholders lainnya.
“Kami juga sedang bandingkan dengan bursa luar, best practice-nya seperti apa? Dari [bursa] Hongkong, Shanghai, Singapura, kurang lebih ada 5 bursa yang kami lakukan kajian dan kami telah dapat hasil kajian konsultan hukum juga,” tuturnya.
Lebih lanjut Hendra mengatakan aturan baru tersebut diupayakan untuk segera rampung. Pun, dengan penyesuaian-penyesuaian tersebut diharapkan keengganan sejumlah perusahaan untuk tercatat di Bursa Efek Indonesia dapat teratasi.
“Kami sedang menyiapkan infrastrukturnya, semoga dalam waktu dekat sudah siap dan bisa menarik unicorn atau fintech-fintech lain untuk tercatat di Bursa,” pungkasnya.
Terpisah, Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna Setya menjelaskan mengenai perkembangan rencana penerapan aturan special purpose acquisition company (SPAC) di Indonesia.
SPAC secara garis besar merupakan sebuah perusahaan yang didirikan secara khusus untuk menggalang dana melalui IPO dengan tujuan melakukan merger, akuisisi, atau pembelian saham perusahaan terhadap satu atau lebih perusahaan.
Pasca aksi merger atau akuisisi selesai, maka perusahaan target akan menjadi perusahaan terbuka dan tercatat di Bursa tempat SPAC tercatat. Untuk saat ini praktik SPAC sudah umum dilaksanakan di beberapa bursa utama dunia, salah satunya di Amerika Serikat.
Nyoman mengatakan, sehubungan dengan rencana penerapan aturan SPAC di Indonesia, saat ini BEI dalam tahapan kajian dan diskusi dengan beberapa pihak stakeholders terkait untuk mendapatkan referensi pengaturan SPAC dimaksud.
Menurut dia, pada proses penyusunan peraturan, BEI perlu mempertimbangkan kesesuaian penerapan peraturan berdasarkan perbandingan yang tengah dilakukan atas best practice di Bursa lain secara global.
“Selain itu kami tentunya juga mengkaji beberapa hal seperti aspek corporate governance, perlindungan investor publik, dan kesesuaian peraturan dengan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia,” kata Nyoman.