Bisnis.com, JAKARTA – Harga tembaga kembali terkoreksi selama dua hari beruntun seiring dengan kenaikan jumlah persediaan pada London Metal Exchange (LME) serta penguatan dolar AS.
Dilansir dari Bloomberg pada Rabu (31/3/2021), harga tembaga dengan kontrak tiga bulan terpantau turun 1 persen di posisi US$8.733,50 per ton di LME. Adapun, harga tembaga telah menguat 13 persen sepanjang kuartal I/2021.
Reli harga tembaga mulai kehilangan tenaganya selama beberapa pekan terakhir. Akibatnya, rekor kenaikan bulanan yang telah terjadi selama 11 kali beruntun hampir pasti terputus pada bulan ini.
Jumlah persediaan tembaga naik 8 persen ke level tertingginya sejak pertengahan Desember 2020 lalu. Kenaikan ini membawa total persediaan tembaga sepanjang Maret 2021 naik 87 persen, mengindikasikan pasokan yang mulai melonggar.
Di sisi lain, nilai tukar dolar AS menguat secara signifikan yang membuat komoditas menjadi lebih mahal untuk investor yang menggunakan mata uang lain. Hal tersebut didorong oleh rencana penambahan anggaran belanja AS yang akan diumumkan oleh Presiden AS Joe Biden.
Analis TD Securities Bart Melek mengatakan, reli harga yang terjadi pada kuartal ini tidak didorong oleh fundamental pada pasar tembaga. Menurutnya, daya tarik tembaga saat ini lebih kepada prospek kenaikan permintaan untuk teknologi ramah lingkungan dan juga pascapandemi virus corona.
“Berbaliknya sentimen kelangkaan pasokan secara temporer serta proyeksi pasokan yang akan melampaui permintaan tembaga sekitar 900 ribu ton dalam tiga tahun mendatang mengindikasikan potensi terjadinya koreksi harga,” jelasnya dikutip dari Bloomberg.
Melek memproyeksikan, harga tembaga kemungkinan akan kembali ke level US$7.000 dalam beberapa waktu ke depan.
Analis Marex Spectron Alastair Munro menyebutkan, selain kenaikan jumlah stok global, pelemahan harga tembaga juga tercermin dari posisi contango pada kontrak tembaga. Posisi tersebut adalah keadaan dimana pelaku mendapat diskon apabila membeli tembaga pada pasar spot dibandingkan kontrak berjangka.
“Rencana belanja besar-besaran dari AS memang menimbulkan sentimen positif, namun pada akhirnya hal tersebut akan mendapatkan banyak tantangan dalam realisasinya,” jelas Munro.