Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Minyak di Level Tertinggi 1 Tahun, Bisa Bertahan?

Hingga penutupan perdagangan Senin (8/2/2021), minyak WTI naik 2,15 persen menjadi US$58,07, sedangkan minyak Brent naik 2,24 persen menuju US$60,67 per barel.
Ilustrasi. Kapal tanker pengangkut minyak./Bloomberg
Ilustrasi. Kapal tanker pengangkut minyak./Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Harga minyak masih nyaman melaju di zona hijau dan berhasil menyentuh level tertinggi seiring dengan prospek pemulihan permintaan di tengah tekanan pasokan.

Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Senin (8/2/2021) hingga pukul 16.05 WIB, harga minyak jenis WTI di bursa Nymex untuk kontrak Maret 2021 menguat 1,25 persen ke posisi US$57,56 per barel. Level itu merupakan yang tertinggi sejak April 2019.

Hingga penutupan perdagangan, minyak WTI naik 2,15 persen menjadi US$58,07, sedangkan minyak Brent naik 2,24 persen menuju US$60,67 per barel.

Harga minyak berhasil pulih lebih cepat daripada ekspektasi pasar. Padahal, pada awal 2020 harga minyak sempat diperdagangkan di teritori negatif, atau di bawah US$0 per barel akibat sentimen pandemi Covid-19.

Sementara itu, harga minyak jenis Brent untuk kontrak Februari 2021 di bursa ICE menguat 1,35 persen ke posisi US$60,14 per barel. Level itu juga menjadi yang tertinggi sejak awal 2020.

Sepanjang tahun berjalan 2021, harga minyak jenis Brent telah menguat 16,1 persen, sedangkan harga minyak WTI naik 18,63 persen.

Kepala Riset dan Edukasi Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan bahwa penguatan harga minyak didorong pembatasan produksi oleh Arab Saudi sebesar 1 juta barel untuk periode Februari dan Maret 2021.

Produsen minyak terbesar dunia itu secara sukarela mengurangi produksinya, sedangkan negara OPEC+ lainnya mempertahankan tingkat produksi minyak sesuai kesepakatan tahun lalu tanpa ada pengurangan.

“Hal itu membuat pasokan di pasar semakin terbatas, jadi harga naik, walaupun sebenarnya permintaan secara ril masih dalam tekanan dan hanya ditopang prospek pemulihan akibat penggelontoran stimulus fiskal oleh pemerintah AS,” ujar Ariston saat dihubungi Bisnis, Senin (8/2/2021).

Ariston menilai penguatan harga yang terjadi saat ini dapat bertahan lama, apalagi jika pandemi Covid-19 di seluruh dunia berhasil dikendalikan sehingga permintaan dapat tumbuh secara nyata.

Harga minyak WTI diproyeksi menguji level resisten US$65 per barel, sedangkan jika sentimen berbalik arah maka harga akan menguji support di US$47 per barel.

Kepala Strategi Pasar di CMC Markets Asia Pacific Sydney Michael McCarthy mengatakan bahwa gambaran proyeksi fundamental dari peningkatan permintaan dan disiplin di sisi penawaran menunjukkan adanya sisi positif yang jelas untuk pasar minyak.

“Kedisiplinan OPEC+ untuk menjaga tingkat produksinya akan menjadi kunci sentimen positif bagi harga minyak,” ujar McCarthy seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (8/2/2021).

Selain itu, jumlah kapal pengiriman minyak yang berlayar menuju China melonjak ke level tertinggi dalam enam bulan terakhir pada Jumat (5/2/2021). Hal itu menjadi tanda bahwa permintaan yang kuat dari importir terbesar dunia dan semakin menopang harga.

Laporan dari Goldman Sachs menyebutkan, harga minyak berpeluang menembus level US$65 per barel pada Juli 2021.

Dalam risetnya, Goldman Sachs menjelaskan, defisit persediaan minyak yang lebih besar akan semakin memanaskan harga minyak. Goldman Sachs memprediksi defisit pasar minyak global akan mencapai 900 ribu barel pada semester I/2021.

"Jumlah ini lebih besar dibandingkan perkiraan sebelumnya pada posisi 500 ribu barel," demikian kutipan laporan tersebut.

PENGUATAN SEMU

Di sisi lain, trader minyak utama dunia, Vitol SA dan Gunvor Group Ltd., menyatakan kehati-hatiannya tentang lonjakan harga minyak yang terjadi baru-baru ini.

Kepala Operasi Asia Vitol SA Mike Muller mengatakan bahwa minyak telah menguat sejak akhir Oktober di tengah perkembangan vaksin Covid-19. Selain itu, pemangkasan produksi oleh OPEC+ juga menjadi sentimen.

Namun, masih ada kekhawatiran tentang permintaan jangka pendek, yang akan didorong oleh varian virus baru yang menyebar di AS dan wilayah lainnya.

Tidak hanya itu, banyak negara ekonomi besar pun tetap dalam kebijakan penguncian yang ketat selagi beberapa negara lainnyaberjuang untuk mendapatkan dosis vaksin yang cukup.

"Pasar semakin maju dengan sendirinya hanya karena euforia pasca vaksin,” papar Muller.

Kendati China berhasil menunjukkan pemulihan permintaan, tetapi tanggung jawab permintaan ada di seluruh dunia karena Negeri Panda itu tidak dapat mengonsumsi minyak lebih cepat daripada yang sudah dilakukannya saat ini.

Penguatan harga minyak pun sudah melampaui harga pada 2019 dengan tingkat kecepatan pertumbuhan sangat fenomenal, melebihi ekspektasi kebanyakan orang.

Dia juga menjelaskan bahwa setidaknya satu indikator teknis juga menunjukkan bahwa minyak overbought dan akan terjadi koreksi.

Di sisi lain, Chief Executive Officer Gunvor Torbjorn Tornqvist mengatakan bahwa penguatan harga minyak hingga ke level tertinggi saat ini dapat berubah menjadi boomerang bagi pasar minyak.

“Keuntungan melebihi US$60 per barel sangat tidak mungkin, karena itu justru akan mendorong perusahaan energi untuk meningkatkan produksi di tengah permintaan yang juga belum nyata,” ujar Tornqvist.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Finna U. Ulfah
Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper