Bisnis.com, JAKARTA - Januari tampaknya telah menjadi awal tahun yang indah bagi harga batu bara. Komoditas emas hitam itu berhasil mempertahankan tren kenaikan harga di saat sentimen energi bersih terus menyerang.
Pada penutupan perdagangan Rabu (27/1/2021) harga batu bara Newcastle untuk kontrak Maret 2021 berada di posisi US$88,9 per ton, menguat 2,66 persen.
Sepanjang tahun berjalan 2021, harga batu bara masih menunjukkan penguatan hingga 9,21 persen. Dalam 6 bulan perdagangan terakhir, bahkan harga telah menguat hingga 41,67 persen.
Padahal, pada tahun lalu harga batu bara sempat anjlok ke bawah level US$50 per ton akibat sentimen pandemi Covid-19. Namun, pada pertengahan Januari 2021 harga batu bara kontrak itu berhasil menyentuh level US$91 per ton, tertinggi sejak 2019.
Di dalam negeri,harga batu bara acuan (HBA) Januari 2021 tercatat senilai US$75,84 per ton atau melonjak 27,14 persen dari posisi Desember 2020 US$59,65 per ton. Harga pada awal tahun tersebut menjadi yang tertinggi sejak Juli 2019.
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Andy Wibowo Gunawan memproyeksi total pertumbuhan konsumsi listrik China untuk periode Desember 2020 lebih baik daripada pencapaian bulan sebelumnya.
Proyeksi itu mengingat aktivitas manufaktur China yang berkembang, sebagaimana tercermin dalam pertumbuhan produksi industri China periode Desember 2020.
Belum lagi, pertumbuhan output pembangkit listrik tenaga uap China pada Desember naik hingga 9,2 persen secara year on year (yoy), lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya hanya sebesar 6,6 persen yoy.
Sentimen itu pun dapat menjadi katalis positif untuk harga batu bara agar mempertahankan penguatannya. Pasalnya, mayoritas pembangkit listrik di China masih menggunakan bahan bakar batu bara. Selain itu, China merupakan importir batu bara terbesar dunia.
“Secara keseluruhan, kami pikir harga batubara global akan diperdagangkan lebih tinggi sepanjang pekan ini, mengingat perkiraan yang lebih tinggi untuk pertumbuhan total konsumsi listrik China,” tulis Andy seperti dikutip dari publikasi risetnya, Kamis (28/1/2021).
Di sisi lain, Andy mengatakan bahwa ekspor batu bara Australia ke China akan tetap dalam tren penurunan karena masalah geopolitik antara kedua negara itu. Oleh karena itu, Andy memperkirakan ekspor batu bara Indonesia ke China akan meningkat dalam waktu dekat.
Sementara itu, analis Capital Futures Wahyu Laksono mengatakan bahwa tren harga komoditas, terutama sektor energi masih bagus dalam jangka pendek. Pandemi Covid-19 telah membuat adanya ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan.
Pasokan tertekan karena pandemi menahan produksi dan investasi di bidang energi, sedangkan perlambatan ekonomi akibat pandemi telah menurunkan permintaan.
“Pandemi membutuhkan waktu untuk mereda dan memicu permintaan, begitu juga produksi dan investasi. Namun, tampaknya pemulihan produksi dan investasi tidak akan secepat permintaan. Itulah kenapa harga masih bisa naik,” ujar Wahyu kepada Bisnis, Kamis (28/1/2021).
Tertekan Energi Bersih
Di sisi lain, batu bara juga mendapatkan tekanan dari sentimen pasar yang mulai menjauhkan diri dari energi fosil. Apalagi, setelah Joe Biden dilantik sebagai Presiden AS terbaru dan kebijakan-kebijakannya diyakini akan sangat pro energi bersih.
Wahyu menjelaskan, isu energi bersih telah menjadi sentimen batu bara untuk waktu yang lama. Namun, nyatanya hingga saat ini batu bara masih hadir dan tetap menjadi salah satu energi utama China.
Batu bara pun diyakini masih akan menjadi salah satu penopang ekonomi Negeri Panda itu, sehingga peralihan energi di negara konsumen utama batu bara dunia itu membutuhkan waktu yang lama.
Untuk diketahui, Presiden AS Joe Biden menandatangani serangkaian perintah eksekutif terkait iklim, seperti menangguhkan kontrak minyak dan gas baru di AS dan memangkas subsidi bahan bakar fosil.
Selain itu, Biden juga mendorong untuk menggunakan kendaraan listrik sebagai mobil operasional pemerintahan. Di Uni Eropa, penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara dilaporkan turun hingga 20 persen sepanjang 2020.
Hal itu pun membuat Uni Eropa berhasil mencatatkan penggunaan energi terbarukan telah mengambil alih peran bahan bakar fosil sebagai sumber utama listrik Uni Eropa untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Dalam laporan lembaga kajian Ember dan Agora Energiewende, pada 2020 energi terbarukan seperti angin dan tenaga surya menghasilkan 38 persen sumber listrik di Uni Eropa, dibandingkan dengan energi fosil seperti batu bara dan gas yang hanya menyumbang 37 persen.
Sementara itu, sejumlah perusahaan penambang batu bara kakap dunia juga sudah mulai meninggalkan bisnis batu bara, menyusul banyaknya perusahaan keuangan yang juga menghentikan pembiayaan di sektor itu.
Terbaru, Glencore Plc mengkaji kembali bisnis batu bara thermalnya, karena semakin banyak investor menghindari paparan komoditas itu di tengah meningkatnya kekhawatiran tentang emisi karbon dan pemanasan global.
Analis Liberum Capital Ben Davis mengatakan bahwa maraknya perusahaan tambang global yang keluar dari bisnis batu bara saat ini sangat masuk akal.
“Secara jangka panjang bisnis batu bara sesungguhnya dalam tren penurunan, itu alasan utama mengapa banyak orang ingin keluar dari sektor itu,” ujar Davis seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (28/1/2021).