Bisnis.com, JAKARTA - Manajer investasi masih menjagokan produk reksa dana pendapatan tetap untuk diakumulasi pada 2021 walaupun insentif pajak untuk aset surat utang dalam kontrak investasi kolektif dipangkas.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 100/2013 yang mengubah PP No. 16/2009, pemerintah memberikan relaksasi terkait pajak penghasilan (PPh) final atas bunga obligasi yang diperoleh wajib pajak reksa dana yakni sebesar 5 persen.
Namun, beleid terbaru yaitu PP No. 55/2019 yang merupakan perubahan kedua PP No. 16/2009 menyebutkan tarif PPh bunga obligasi naik bertahap 5 persen pada 2021 dan seterusnya. Dengan demikian, mulai tahun depan PPh final atas bunga obligasi reksa dana menjadi 10 persen.
Head of Investment Avrist Asset Management Farash Farich mengatakan reksa dana berbasis fixed income bakal tetap menarik walaupun mulai 2021 pajak obligasi untuk reksa dana dinaikkan menjadi 10 persen.
“Untuk potensi return dan imbal hasil, reksa dana pendapatan tetap masih sangat baik untuk pilihan investasi jangka menengah,” kata Farash kepada Bisnis, Minggu (27/12/2020).
Adapun, reksa dana pendapatan tetap yang memiliki aset dasar surat utang ini juga bisa diakumulasikan oleh investor yang memiliki horison investasi jangka pendek dan panjang dengan menyesuaikan pada strategi masing-masing reksa dana.
Baca Juga
Tak hanya itu, reksa dana berbasis obligasi biasanya dijadikan akses bagi investor yang ingin berinvestasi ke instrumen surat utang atau sukuk dalam jumlah yang tidak begitu besar.
Dari sisi manajer investasi, Farash mengakui terdapat sedikit penyesuaian untuk menyusun underlying asset reksa dana berbasis obligasi untuk memaksimalkan kinerja produk.
Akan tetapi, strategi dasar di setiap fund disebut tidak akan berubah seperti reksa dana yang fokus berinvestasi pada SBN jangka pendek akan tetap seperti itu. Begitu pula, reksa dana yang fokus di obligasi korporasi jangka menengah juga akan dibiarkan tetap begitu.
“Kalau dari minat investor menurut saya tetap tinggi walau pajak naik. Reksa dana menawarkan jasa pengelolaan portofolio bagi investor supaya return optimal namun risiko kredit dan likuiditas terjaga,” imbuh Farash yang ikut mengelola dana senilai Rp7,8 triliun.
Selain itu, lanjut Farash, pajak obligasi dalam reksa dana yang sebesar 10 persen masih lebih rendah dibandingkan pajak obligasi untuk individu, asuransi, dan korporasi sebesar 15 persen. Begitu pula bagi perbankan yang juga mendapat pajak penghasilan (PPh) badan untuk obligasi.
Presiden Direktur PT Pinnacle Persada Investama Guntur Putra menambahkan bahwa pajak obligasi dalam reksa dana menjadi 10 persen pada 2021 berarti masih ada insentif sebesar 5 persen.
“Harusnya tidak akan ada dampak besar ke industri karena expertise manajer investasi untuk melakukan pengelolaan secara independen dan aktif terhadap portofolio obligasi juga tetap diperlukan oleh investor,” ujar Guntur.
Walaupun insentif pajak berkurang 5 persen, hal itu dinilai Guntur masih lebih baik ketimbang tidak ada insentif sama sekali.
Adapun, kebutuhan investor untuk berinvestasi di reksa dana berbasis obligasi tentunya bukan hanya dari sisi insentif saja. Guntur mengatakan bahwa keahlian masing-masing manajer investasi dalam pengelolaan portofolio obligasi secara aktif dan terukur juga menjadi daya tarik investor untuk masuk ke industri reksa dana.